INFO BISNIS-- Awal 2020 ini, WHO merilis daftar 13 tantangan kesehatan global yang akan dihadapi selama satu dekade ke depan, dan pencegahan penyakit menular serta akses ke produk berbahaya menjadi perhatian utama bagi pemerintah di seluruh dunia untuk diatasi.
Dari sudut pandang regulasi, pemerintah di banyak negara telah mengambil pendekatan yang sangat berbeda dalam mengatasi masalah ini, mulai dari persiapan dalam menangani pandemi seperti Covid-19 hingga mengurangi tingginya angka prevalensi merokok. Beberapa keputusan terbaik dibuat berbasis data dan bukti ilmiah, seperti menggunakan pendekatan pengurangan dampak buruk dalam mengelola Covid-19, epidemi HIV dan prevalensi merokok.
Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair diketahui telah berhasil dalam membuat perubahan di Dewan Perwakilan Rakyat Inggris untuk menghasilkan kebijakan yang benar-benar menyelesaikan masalah, berorientasi jangka panjang, dan berlandaskan bukti, dibandingkan dengan kebijakan yang diformulasikan dari potongan-potongan fakta.
Berkaca dari pandemi Covid-19. Dengan pengetahuan yang sangat sedikit mengenai penyakit yang menular dengan sangat cepat ini, pemerintah di seluruh dunia masing-masing dipaksa untuk mencari bukti ilmiah dalam merumuskan kebijakan untuk melandaikan kurva penyebarannya. Hasilnya, beberapa negara lebih berhasil dalam menangani hal ini dibandingkan negara lainnya.
Negara-negara seperti Selandia Baru dipuji atas kemampuan mereka dalam menangani Covid-19 dengan sangat baik. Selandia Baru mengandalkan ilmu pengetahuan untuk mendorong peraturan yang paling ketat dalam menutup gelombang masuk virus dan menghentikan transmisi lokal.
Dua bulan setelah mencabut kebijakan lockdown setelah berlangsung selama enam minggu, Selandia Baru berhasil menekan penyebaran Covid-19. Di sisi lain, negara-negara seperti Amerika Serikat yang memiliki pendekatan yang lebih longgar dan tidak terkoordinasi, terus mengalami peningkatan angka infeksi dan kematian.
Perdana Menteri Selandia baru, Jacinda Arden, dan para pakar penyakit menular di seluruh dunia merujuk pada komitmen kuat Selandia Baru terhadap pengambilan keputusan berdasarkan bukti. Dengan pertimbangan bahwa lockdown secara keseluruhan akan mengakibatkan resesi ekonomi yang berkepanjangan, pendekatan berbasis risiko, serta pengurangan dampak buruk diterima sebagai penyelesaian yang layak.
Konsep pengurangan dampak buruk juga telah banyak digunakan dalam menangani epidemi HIV pada akhir 1980-an. Bukti menunjukkan bahwa penyebaran virus HIV banyak ditemukan pada orang-orang yang aktif secara seksual dan juga pada pengguna narkoba.
Untuk membantu menghentikan penyebarannya, diperkenalkanlah penggunaan kondom bagi orang-orang yang aktif secara seksual, dan para dokter memulai “Needle Exchange Programme (NEP)” atau tukar jarum dimana mereka menyediakan jarum suntik steril kepada pengguna narkoba daripada semata-mata berusaha untuk membuat mereka berhenti. Dalam jangka panjang, hal ini telah berhasil mengurangi penyebaran virus secara global.
Di luar pandemi Covid-19 dan HIV, masyarakat juga masih di hantui tingginya kematian akibat merokok. Di Indonesia, sebagai salah satu negara dengan prevalensi perokok tertinggi di dunia (28,9% menurut data Riskesdas), menjadikan merokok penyebab utama kematian yang sebenarnya dapat dicegah.
Pemerintah di negara-negara lain seperti Inggris dan Selandia Baru telah memilih untuk menerapkan pendekatan pengurangan dampak buruk guna mengurangi prevalensi merokok. Kedua negara tersebut mendukung para perokok dewasa dalam usaha mereka untuk berhenti dengan mendorong penggunaan produk alternatif yang berisiko lebih rendah daripada rokok konvensional.
Public Health England (PHE) menyampaikan laporannya, dibandingkan pada tahun 2011, kini jumlah perokok di Selandia Baru telah berkurang hampir sebanyak 2 juta orang, sebagian besar karena bantuan produk Electronic Nicotine Delivery Systems (ENDS). Selandia Baru menargetkan untuk merampungkan salah satu kebijakan mengenai ENDS yang paling progresif di dunia pada bulan depan dan kebijakan ini diatur untuk membantu mereka dalam mencapai visi Smokefree 2025.
Akankah mengadopsi kebijakan berbasis bukti ini akan membantu lebih banyak perokok dewasa di Indonesia untuk berhenti merokok, dan membantu Indonesia menjadi negara bebas rokok?
Untuk menjawab hal tersebut, bergabunglah dalam diskusi menarik Tempo yang akan dilangsungkan pada Kamis, 30 Juli 2020 dengan tema “Beban Merokok di Indonesia: Apa yang Dikatakan Penelitian tentang Alternatif?”.
Diskusi yang akan di langsungkan secara online atau daring ini akan di pandu Direktur Tempo Institute, Qaris Tajuddin, menghadirkan nara sumber para pakar kesehatan, seperti Dr David Sweanor, Profesor Tikki Pangestu, dan Prof. Ali Ghuforn, Staf Ahli Menristek/ BRIN. (*)