INFO NASIONAL – Pancasila sebagai ideologi telah mendasari perjalanan bangsa Indonesia melewati sejumlah fase, mulai dari perjuangan kemerdekaan hingga masa reformasi dan implementasinya saat ini.
Namun, seiring perkembangan bangsa Indonesia, Pancasila yang merupakan sebuah konsensus di awal pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia menghadapi banyak tantangan, seperti perubahan, penolakan maupun upaya memperkuatnya di tengah persaingan banyak ideologi lain di masa kini.
Membahas hal menarik ini, Tempo Media Group mengadakan sebuah acara bertajuk Dialog kebangsaan dengan tema “Konsensus Pancasila: Masa Kini dan Mendatang” di channel Tempo TV yang juga disiarkan secara live di channel Youtube Tempodotco, pada Rabu, 8 Juli 2020.
Adapun yang menjadi narasumber adalah Ketua komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung; Wakil Sekjen Dewan Pimpinan MUI, Nadjamuddin Ramly; Plt. Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sahiron Syamsudin; Pengajar Hukum Tata Negara FH Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Agus Riwanto; serta Wahyu Muryadi yang memandu sebagai moderator.
Pembahasan berlangsung hangat seputar isu upaya-upaya memperkuat Pancasila yang tengah dilakukan oleh pemerintah melalui pembentukan Badan Pembentukan Ideologi Pancasila (BPIP) hingga pembahasan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
Ahmad Doli Kurnia Tandjung sebagai bagian dari komisi II DPR Ri yang ikut bertanggung jawab atas pembahasan upaya internalisasi Pancasila melalui BPIP maupun RUU HIP meyakinkan bahwa peran Pancasila amat penting di dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Sayangnya, seiring berjalannya jaman, kehadiran Pancasila dirasa sudah semakin “hilang”, terutama pada generasi saat ini.
“Oleh karena itu, yang diperlukan adalah bagaimana nilai-nilai Pancasila itu bisa terinternalisasi, terlembagakan, baik itu ada institusi-institusi formal publik maupun terhadap masyarakat. Nah, untuk menginternalisasi dan melembagakan itu (Pancasila), saya kira harus punya alat, punya lembaga untuk melakukan itu,” kata Doli.
Ia menyayangkan kenyataan bahwa saat ini ideologi baik seperti Pancasila tidak dikenal baik oleh sebagian generasi muda Indonesia. Baginya, peran BPIP dalam kondisi ini cukup penting, terutama untuk menginternalisasi serta “membumikan” Pancasila bagi kelangsungan masa depan Indonesia.
Berbeda pendapat dengan Doli, organisator MUI yang juga pernah aktif di Kemendikbud, Nadjamuddin Ramly berpendapat bahwa sebaiknya peran otoritas internalisasi diserahkan pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Kemendikbud dan Kemenag saja.
“Saya khawatir, kalau ada lembaga baru yang mau dikuatkan dengan undang-undang, kita tidak bisa menjamin,” ujar Nadjamuddin.
Sementara, Sahiron Syamsudin merasa perlu adanya internalisasi Pancasila dengan metode yang berbeda seperti waktu-waktu sebelumnya. Pancasila perlu diedukasikan, kemudian dipahami, diinterpretasikan, hingga masyarakat mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
“Jangan sampai kita kemudian menggunakan metode sebelumnya, yaitu top down. Tetapi harus bottom up, anak didik kita, apakah itu sesuai dengan kemampuan pola pikir siswa dan mahasiswanya, mereka diajak bicara tentang nilai-nilai Pancasila,” ucapnya.
Senada dengan Sahiron, pengajar hukum tata negara, Agus Riwanto berpendapat bahwa yang menjadi masalah saat ini adalah aktualisasi atau penerapan Pancasila dalam kehidupan bernegara di Indonesia.
“Kita perlu mengatur satu kelembagaan khusus yang bisa memberikan cara yang lebih sistematis, koordinatif, partisipatif dan memiliki kewenangan mengatur, baik Pancasila dalam pengertian pemahaman, kemudian penghayatan, sampai pada implemetasi,” tuturnya.
Akhirnya, dialog online selama hampir dua jam ini pun berakhir dengan sebuah kenyataan bahwa Pancasila sebagai ideologi terbuka bersifat dinamis dan dapat disesuaikan dengan perkembangan Indonesia dan tuntutan jaman.(*)