TEMPO.CO, Jakarta-Politikus PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko meminta kader-kader partai berlambang kepala banteng tetap rendah hati meskipun sedang berkuasa. Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dua periode ini menilai, PDIP merupakan partai yang menentukan arah pemerintahan Indonesia, baik ketika sedang berkuasa maupun saat menjadi oposisi. Menurut dia, tidak semua partai bisa seperti PDIP.
“Meski demikian kita tak boleh merasa paling hebat. Namun juga jangan ada pihak-pihak yang sembarangan ingin mengusir PDIP keluar dari Indonesia,” kata Budiman saat menjadi pembicara webinar Refleksi Peringatan Kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli) yang diadakan oleh Dewan Pimpinan Cabang PDIP Kota Surabaya, Ahad malam, 26 Juli 2020.
Menurut Budiman peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996, yang dipicu oleh konflik internal PDI, menjadi momentum bagi rakyat dalam merebut demokrasi. Kudatuli sendiri, kata dia, merupakan puncak dari akumulasi kebuntuan demokrasi sejak Megawati Soekarnoputri terpilih sebagai Ketua Umum PDI melalui kongres luar biasa di Asrama Haji Sukolilo Surabaya pada 1993.
Budiman menilai, KLB PDI Surabaya melahirkan dua anak kandung, yakni PDI Pro-Mega (Promeg) dan gerakan demokrasi menggulingkan Presiden Soeharto. Sebab, pemerintahan Soeharto setengah hati mengakui Mega sebagai Ketua Umum PDI. “Soeharto tak ikhlas Megawati memimpin, karena itu ingin direbut lagi melalui kerusuhan 27 Juli,” katanya.
Budiman Sudjatmiko, yang ketika itu Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD), mengatakan menjelang pecah Kudatuli ia bergabung ke kantor PDI Jalan Diponegoro Jakarta bersama pengurus PRD lainnya. Ia mengatakan sengaja masuk untuk meyakinkan kader-kader PDI di dalam kantor tersebut bahwa masalahnya bukan hanya PDIP melawan pemerintah, namun demokrasi yang harus direbut bersama-sama.
Budiman diciduk di kantor PRD, Tebet, pada 11 Agustus 1996 sekitar pukul 21.00 saat sedang menonton siaran langsung Liga Inggris antara Manchester United melawan Newcastle United di televisi. Ia dibawa ke tempat misterius dan diinterograsi selama satu minggu. “Saya ditempatkan di sebuah sel yang di dalamya masih ada darah-darah mengering. Mungkin baru untuk menyiksa orang,” katanya.
Dia menuturkan demokrasi Indonesia direbut dengan mengorbankan nyawa para aktivis, darah, keringat dan air mata. Sebanyak 13 aktivis yang diduga diculik tentara juga belum diketahui keberadaanya. “Kita membayar mahal untuk demokrasi ini,” katanya.
Ketua PDIP Surabaya Adi Sutarwijono mengatakan sehari setelah penyerbuan di Jakarta, kantor PDI Promeg di Jalan Pandegiling juga diserbu aparat. Sebab PDI Promeg yang dipimpin Sutjipto berdiri di belakang Megawati. “Setelah Jakarta, sehari kemudian markas PDI Promeg Surabaya diserbu aparat,” katanya.