TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat sosial politik Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, menilai sengkarut Program Organisasi Penggerak (POP) menambah daftar kekacauan kebijakan di tubuh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang digawangiNadiem Makarim.
Ubedillah mempertanyakan keberadaan perusahaan besar, dalam program bantuan puluhan miliar yang ditujukan meningkatkan kualitas guru tersebut.
"Organisasi CSR perusahaan besar mestinya membantu negara benahi dunia pendidikan dengan biaya mandiri bukan menggunakan uang negara," ujar Ubedillah dalam keterangan tertulis, Ahad, 26 Juli 2020.
Ia menilai kekacauan kebijakan Nadiem juga terjadi di program Merdeka Belajar. Ia menilai slogan itu hanya gagah di istilah tetapi keropos di substansi. Hal ini, kata Ubedillah, berdampak pada gangguan pada sekolah sampai perguruan tinggi. Mulai dari kebijakan turunan yang sangat instrumental dan teknis dari soal konsep Ujian Kompetensi dan Karakter, penyederhanaan RPP sampai soal Zonasi sekolah.
"Kekacauan perbedaan tafsir juga terjadi di perguruan tinggi, ada semacam tambal sulam turunan ide lama dikemas dengan label merdeka belajar, jadi buang-buang energi saja dan merusak visi pendidikan secara substantif," kata Ubedillah.
Ubedillah juga mempertanyakan gaya manajemen Nadiem yang tidak terbuka dan menyalahi prinsip-prinsip open government.
Ia melihat Kemendikbud sangat sulit melakukan diskusi terbuka dan jujur. Ubedillah juga menilai Mendikbud lambat merespon dampak Covid-19 terhadap mahasiswa perguruan tinggi negeri maupun swasta.
"Jadi, kekacauan demi kekacauan di lingkungan Kemendikbud semakin luar biasa. Mendikbud hanya menjadi beban Presiden, untuk apa dipertahankan?" ujar Ubedillah