TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah meluncurkan Program Organisasi Penggerak atau POP. Program dibuat untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan penguatan sumber daya manusia yang digagas oleh Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud.
Program ini dibuat dengan mengajak organisasi masyarakat agar terlibat langsung. Ormas yang ingin terlibat mengajukan proposal pada 16 Maret-16 April 2020.
Beberapa waktu lalu, Kemendikbud mengumumkan ada 156 organisasi yang dinilai memenuhi kriteria melaksanakan POP. Organisasi yang terpilih dibagi kategori III yakni Gajah, Macan dan Kijang. Untuk Gajah dialokasikan anggaran sebesar maksimal Rp 20 miliar per tahun, Macan Rp 5 miliar per tahun, dan Kijang Rp 1 miliar per tahun.
Namun belakangan, sejumlah organisasi memutuskan keluar dari program ini. Berikut beberapa organisasi yang memutuskan keluar dari program POP Kemendikbud, yang dihimpun Tempo.
1. Majelis Pendidikan Dasar-Menengah PP Muhammadiyah
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan mundur pada Rabu, 22 Juli 2020. Mereka mundur setelah mengikuti proses seleksi. Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Kasiyarno menilai bahwa proses seleksi dan verifikasi program beranggaran sekitar Rp 595 miliar itu tidak jelas.
Ia menyebut banyak organisasi baru yang belum terbukti kompetensi dan kredibilitasnya ternyata berhasil lolos dan bahkan mendapatkan program Organisasi Penggerak kategori ‘Gajah’.
Selain itu, Kasiyarno mengatakan bahwa ada beberapa lembaga CSR yang semestinya berperan membantu dana pendidikan malah ikut mengajukan proposal dan diloloskan oleh Kemendikbud. Hal itu dianggap menunjukkan ketidakjelasan kriteria yang digunakan dalam proses seleksi dan evaluasi.
"Dari pada ke depannya justru kena awu-nya, sudah lebih baik kita mundur saja, demi Muhammadiyah. Tetapi kita tetap berkomitmen bahwa kami akan membantu pemerintah dalam memajukan pendidikan Indonesia," kata Kasiyarno.
2. Lembaga Pendidikan (LP) Ma'arif Nahdlatul Ulama
Sama halnya dengan Muhammadiyah, LP Ma’arif PBNU memutuskan mundur dari Program Organisasi Penggerak pada Rabu, 22 Juli 2020.
Ketua LP Maarif NU, Z. Arifin Junaidi menilai, program ini dari awal sudah janggal. Pasalnya, dia mengaku, pihaknya dimintai proposal dua hari sebelum penutupan.
"Kami nyatakan tidak bisa bikin proposal dengan berbagai macam syarat dalam waktu singkat, tapi kami diminta ajukan saja syarat-syarat menyusul. Tanggal 5 Maret lewat website mereka dinyatakan proposal kami ditolak," ujar Arifin dalam keterangannya.
Arifin mengatakan Kemendikbud sempat kembali menghubungi LP Ma’arif NU untuk melengkapi syarat-syarat. Kala itu, dia menjelaskan, LP Ma’arif NU diminta menggunakan badan hukum sendiri bukan badan hukum NU. Namun hal ini ditolak oleh mereka.
Esok harinya, Kemendikbud kembali meminta surat kuasa dari PBNU. Padahal, Arifin menyebut syarat tersebut tidak sesuai dengan AD/ART. Terus didesak, ia mengatakan akhirnya LP Ma'arif NU meminta surat kuasa dan memasukkannya di detik-detik terakhir.
Pada Rabu mereka kembali mendadak dihubungi untuk mengikuti rapat koordinasi. Padahal saat itu, belum ada surat keterangan penetapan program Kemendikbud itu. Padahal belum ada SK penetapan penerima POP dan undangan.
"Dari sumber lain kami dapat daftar penerima POP, ternyata banyak sekali organisasi/yayasan yang tidak jelas ditetapkan sebagai penerima POP," kata Arifin.
3. PGRI
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menjadi yang terakhir mundur dari program tersebut. PGRI memutuskan mundur pada Jumat, 24 Juli 2020.
"PGRI melalui rapat koordinasi memutuskan untuk tidak bergabung dalam Program Organisasi Penggerak Kemendikbud,” kata Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi dalam keterangan tertulisnya.
Unifah mengatakan, setelah menerima saran dari para pengurus PGRI di daerah, ada sejumlah pertimbangan yang membuat organisasi mengambil keputusan tersebut.
PGRI memandang bahwa dana yang dialokasikan untuk POP akan sangat bermanfaat apabila digunakan untuk membantu siswa, guru atau honorer, penyediaan infrastruktur di daerah. Khususnya di daerah tertinggal, terdepan dan terluar, demi menunjang pembelajaran jarak jauh (PJJ) di era pandemi.
PGRI, kata Unifah, berpendapat POP tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, serta menghindari berbagai akibat yang tidak diinginkan di kemudian hari. "Karena waktu pelaksanaan yang singkat," kata dia.
Pertimbangan lain, PGRI menilai kriteria pemilihan dan penetapan peserta POP yang digelar Kemendikbud tidak jelas. Menurut Unifah, perlu ada prioritas program yang dibutuhkan dalam meningkatkan kompetensi dan kinerja guru, melalui penataan pengembangan dan mekanisme keprofesian guru berkelanjutan.
EGI ADYATAMA | FRISKI RIANA