TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum, Suparman Marzuki mengatakan aparat negara seringkali malah menjadi aktor dalam tindakan kejahatan dan dehumanisasi. Kasus penyiraman Penyidik KPK, Novel Baswedan dan proses peradilannya dianggap sebagai bentuk kejahatan dengan pembiaran atau crime by omission.
“Kasus Novel, ini yang terbaru, adalah bentuk dari crime by omission, kejahatan dengan pembiaran. Pelanggaran HAM yang lalu dibiarkan berlalu, kekerasan simbolis, stigmatisasi," ujar Suparman dalam diskusi daring bertajuk Rembug Nasional, Jumat, 24 Juli 2020.
Menurut dia, mereka yang bersungguh-sungguh di jalan kebenaran memberantas korupsi disebut kaum radikal. Namun sebaliknya, koruptor yang radikal malah tidak disebut kaum radikal.
Sebagaimana diberitakan, Novel Baswedan disiram air keras pada April 2017, sebelum kemudian Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis 2 tahun penjara terhadap Rahmat Kadir dan 1 tahun 6 bulan untuk Ronny Bugis pada 16 Juli 2020 lalu. Novel menyebut proses pengadilan tersebut penuh dengan sandiwara, bahkan meyakini kedua terpidana bukanlah pelaku sebenarnya.
Mantan Ketua Komisi Yudisial ini menganggap kasus Novel menunjukkan negara tidak menjalankan tugasnya dalam melindungi hak-hak sipil sebagaimana mestinya. Sedangkan menurutnya, masih banyak masyarakat yang lebih mudah terbawa arus stigmatisasi dan isu-isu identitas yang memecah belah kesatuan lainnya, sehingga lupa untuk mengawasi kinerja negara dan memperjuangkan hak-hak sipil.
Oleh karena itu, kata Suparman, penting untuk memelihara kesadaran warga sipil yang kritis dan kreatif, yang biasanya minoritas, untuk terus mendesak negara agar menjalankan tugas-tugas konstitusional dalam melindungi hak-hak warganya.
“Yang perlu kita bangun itu bagaimana terus menumbuhkembangkan minoritas-minoritas kreatif dan minoritas kritis. Tidak pernah banyak, kalau banyak malah biasanya ribut,” ujar Suparman Marzuki.
ACHMAD HAMUDI ASSEGAF