TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Program Regional Asia Justice And Rights (AJAR), Indria Fernida, mengingatkan untuk berhati-hati akan upaya rekonsiliasi sebagai penyelesaian isu-isu pelanggaran HAM di Indonesia.
Indria menilai negara secara politik semata-mata hanya ingin rekonsiliasi namun tidak ada upaya untuk mengungkapkan kebenaran. Ia mengatakan yang terjadi rekonsiliasi menjadi upaya menutupi pertanggungjawaban pelaku.
“Itu teruji, seperti di banyak negara khususnya di Asia, istilah-istilah nilai ketimuran di rekonsiliasi itu jadi upaya menutupi pertanggungjawaban pelaku itu sendiri, sehingga wajar kalau semua orang mencurigai upaya itu,” kata Indria saat berdiskusi daring tentang upaya pengesahan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) pada Jumat, 24 Juli 2020.
Ia mencontohkan kasus Peristiwa Tanjung Priok yang diselesaikan dengan cara islah atau upaya mendamaikan. Menurut dia, islah ini menyebabkan proses di pengadilan terhenti karena ada upaya tersebut. Sehingga pelaku jadi terlihat tidak bersalah dan korban membalikkan pernyataan mereka.
Indria mengingatkan untuk seluruh pihak yang terlibat dalam pembahasan pembentukan KKR agar selalu fokus dengan tujuan utama, yaitu untuk mengungkapkan kebenaran dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Menurut dia, poin rekonsiliasi seharusnya tidak disamaratakan dalam tujuan ini dan dinilai sebagai upaya lanjutan yang sudah memiliki tujuan yang berbeda.
Indria mengatakan bahwa upaya rekonsiliasi tidak tepat untuk ditempatkan dalam pelanggaran HAM yang mencatat negara sebagai pelaku. Ia menuturkan bahwa upaya pendamaian tersebut hanya bisa diterapkan dalam kasus-kasus yang memiliki relasi horizontal, seperti kekerasan antar masyarakat.
Ia mencontohkan upaya rekonsiliasi yang sedang berjalan saat ini di Aceh Tengah, dimana ketegangan masyarakat sedang meninggi karena korban dan pelaku harus hidup berdampingan.
Ia mencatat sebagian masyarakat pernah digunakan oleh militer sebagai pelaku kejahatan pada masyarakat setempat. Ia juga menyebutkan penanganan kasus di Timor Leste, dimana ada peradilan bagi pelaku komando tapi tidak untuk pelaku milisi, karena pelaku milisi dinyatakan sebagai bagian dari masyarakat yang hanya menjalankan perintah. Ia menilai upaya rekonsiliasi berlaku disini, agar kondisi masyarakat kembali beradab dan demokratis.
Indria tidak mengharapkan rekonsiliasi dapat menjadi jalan penyelesaian yang sama antara negara dan korban, karena menurutnya negara tidak pernah mengakui pelaku kejahatan secara spesifik. “Kalau negara tidak mengakui pelaku siapa, apa yang bisa diharapkan dari rekonsiliasi,” katanya.
WINTANG WARASTRI