TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch dan Lokataru mengirim surat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi pada Selasa, 21 Juli 2020. Kedua lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu meminta KPK agar segera mengembangkan dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Nurhadi.
"Sebab, data yang kami himpun selama ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan diduga memiliki kekayaan yang tidak wajar atau tidak berbanding lurus dengan penghasilan resminya," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulis pada Selasa, 21 Juni 2020.
Atas dasar tersebut, Kurnia mengatakan patut diduga harta kekayaan Nurhadi diperoleh dari hasil tindak kejahatan korupsi.
Kurnia mengatakan, dari penelusuran yang sudah dilakukan, setidaknya ditemukan beberapa aset yang diduga milik Nurhadi, diantaranya tujuh aset tanah dan bangunan, empat lahan kelapa sawit, delapan badan hukum, 12 mobil mewah, dan 12 jam tangan mewah.
Atas temuan itu, Kurnia menilai, KPK seharusnya tidak berhenti hanya pada dugaan tindak pidana suap dan gratifikasi saja. Namun juga harus mengusut dugaan pencucian uang.
Tak hanya itu, ICW dan Lokataru berharap KPK juga dapat menyelidiki potensi pihak terdekat Nurhadi yang menerima manfaat atas kejahatan yang dilakukannya. "Instrumen hukum yang dapat digunakan oleh lembaga anti rasuah ini adalah Pasal 5 UU TPPU (pelaku pasif) dengan ancaman pidana penjara lima tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar," kata Kurnia.
Sebelumnya KPK menetapkan tiga orang menjadi tersangka, yakni Nurhadi; menantunya, Rezky Herbiyono dan Hiendra Soenjoto. KPK menduga Nurhadi melalui Rezky menerima suap dan gratifikasi senilai Rp 46 miliar.
Uang itu diduga diberikan agar Nurhadi mengurus perkara perdata antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara. KPK menyebut menantu Nurhadi menerima sembilan lembar cek atas nama PT MIT dari Direkut PT MIT Hiendra Soenjoto untuk mengurus perkara itu.