TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Ansor menyatakan pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tidak bisa menunggu rancangan undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Hal itu menanggapi pernyataan DPR yang menunggu pengesahan RUU KUHP untuk melanjutkan RUU PKS.
“Itu dua hal yang berbeda. Di dalam RUU KUHP tidak akan mungkin mengatur sedetail RUU PKS. Namanya KUHP, sifatnya global,” kata Maria dalam diskusi daring Tarik Ulur RUU PKS: Sulit atau Tak Serius?, Senin, 20 Juli 2020.
Maria menekankan cakupan RUU PKS yang bersifat lex specialist tidak mampu ditampung dalam RUU KUHP yang bersifat global. Kalaupun masuk, RUU KUHP hanya akan mencantumkan satu-dua ayat secara garis besar yang terkait dengan hukum pidana namun tidak mampu mengatur aspek-aspek lainnya.
Sementara itu, Maria menyebutkan enam elemen kunci dalam RUU PKS, yaitu metode pengambilan berita acara pidana, upaya pemulihan korban, ketentuan pidana, pencegahan, pemantauan, dan definisi sembilan jenis kekerasan seksual. Elemen-elemen ini diharapkan dapat membuat penanganan kasus kekerasan seksual untuk lebih berpihak kepada hak dan kepentingan korban, tidak hanya berhenti pada terpidananya pelaku.
Maria juga menyebutkan faktor lain, bahwa pembahasan RUU KUHP belum tentu selesai dalam satu periode. Ia menyebutkan rancangan ini sudah dibahas sejak DPR periode 2004-2009, namun pembahasannya tidak kunjung maju dan berulang dari nol setiap periode. Baru pada periode sekarang pembahasan RUU PKS yang melanjutkan dari periode sebelumnya.
Di sisi lain, Komnas Perempuan mencatat dalam setiap jam ada tiga kasus kekerasan seksual yang terjadi. Maria mengingatkan bahwa data ini membuktikan urgensi dari RUU PKS untuk disahkan. “Harus berapa ratus pasal lagi yang akan dibahas. Terlalu umum kalau dimasuki RUU PKS, kalau harus menunggu KUHP disahkan,” kata Maria.
WINTANG WARASTRI