TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Hukum atau Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat berbeda suara menyikapi rencana pemerintah mengaktifkan kembali Tim Pemburu Koruptor. Anggota Komisi III dari Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, menilai tim ini tak perlu dihidupkan lagi jika tujuannya hanya untuk memburu Joko Tjandra, buronan kasus pengalihan hak tagih Bank Bali.
"Kalau tim dibentuk hanya untuk mengejar Joko Tjandra ya mubazir," kata Nasir kepada Tempo, Senin malam, 13 Juli 2020. Nasir menilai langkah pemerintah terlambat, reaktif, dan bekerja di hilir. Menurut dia, pemerintah dan Dewan seharusnya segera membahas Rancangan Undang-undang Perampasan Aset Koruptor.
Ia beralasan mengejar buron memerlukan biaya dan koordinasi. Jika buron lari ke negara yang tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, kata dia, perlu lobi dan kompensasi.
Nasir berpandangan keberadaan UU tentang perampasan aset bisa membantu negara menyita harta koruptor dengan pendekatan luar biasa atau extraordinary approach. "Kalau sudah dirampas, koruptor mungkin berpikir tiga kali kalau ingin melarikan diri," ujar Nasir.
Anggota Komisi III dari NasDem, Taufik Basari mengatakan tak masalah jika Tim Pemburu Koruptor dihidupkan kembali. Namun dia menilai langkah tersebut tak ada artinya jika tidak diikuti perbaikan sistem dan strategi. "Sebenarnya yang lebih dibutuhkan adalah koordinasi antarinstansi yang selama ini tidak berjalan optimal," ucap Taufik secara terpisah.
Menurut Taufik, justru perlu dipertimbangkan ide untuk menghidupkan kembali forum Makehjapol (Mahkamah Agung, Kejaksaan, Polisi) dengan beberapa modifikasi sesuai perkembangan zaman. Belajar dari kasus Joko Tjandra, Taufik mengatakan, pemerintah perlu dilibatkan sebagai sistem pendukung (supporting system).
"Ternyata Imigrasi di Kemenkumham dan Dukcapil Kemendagri juga mesti dilibatkan. Sebab sekarang koordinasi pembagian data antarinstansi dalam rangka penegakan hukum turut berperan," kata Taufik.
Di sisi lain, anggota Komisi Hukum dari Demokrat, Didik Mukrianto mendukung rencana pemerintah menghidupkan kembali tim pemburu koruptor. Didik menilai perlu upaya luar biasa mengingat banyaknya koruptor buron yang bebas keluar masuk Indonesia serta besarnya kerugian negara.
"Saya pikir mengaktifkan kembali Tim Pemburu Koruptor masih sangat relevan dan dibutuhkan sebagai salah satu upaya untuk mengoptimalkan upaya pemberantasan korupsi," kata Didik kepada wartawan.
Didik meyakini jika pemerintah dan penegak hukum memiliki political will, dengan sumber daya dan fasilitas yang ada negara tak akan kalah dengan koruptor. Didik menyarankan Tim Pemburu Koruptor harus diisi dengan orang-orang yang memiliki integritas, kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi.
"Pastikan rekam jejaknya baik dan tidak tercela agar terhindar dari berbagai tekanan, godaan, dan rayuan dan koruptor yang berpotensi bisa memengaruhi dan mengendalikan anggota tim," kata Didik.
Tim Pemburu Koruptor pertama kali dibentuk di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2002. Pekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md mengatakan tim ini akan diaktifkan lagi demi memburu Joko Tjandra.
Indonesia Corruption Watch menilai langkah pemerintah itu tak efektif dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Peneliti ICW Wana Alamsyah menyebutkan selama 8 tahun bekerja tim ini hanya bisa menangkap empat buronan dari enam belas target penangkapan. "Evaluasi terhadap tim ini juga tidak pernah dipublikasikan oleh pemerintah," kata Wana sebelumnya.
BUDIARTI UTAMI PUTRI