TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan, Tri Hesty Widyastoeti mengaku belum akan memberikan sanksi kepada rumah sakit yang mematok harga pemeriksaan rapid test Covid-19 lebih mahal dari ketentuan pemerintah.
“Saat ini kami belum buat peraturan bahwa sanksi seperti apa,” kata Hesty dalam diskusi di akun Youtube BNPB, Senin, 13 Juli 2020.
Hesty mengatakan Kemenkes akan melihat dulu perkembangan pelaksanaan Surat Edaran (SE) Kementerian Kesehatan RI Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi. Dalam ketentuan itu ditetapkan bahwa tarif tertinggi rapid test sebesar Rp 150 ribu.
Sejauh ini, kata Hesty, masyarakat sudah menyambut baik ketentuan itu. Bahkan, rumah sakit juga banyak yang sudah mematuhi.
Ia pun berharap, distributor rapid test juga membantu dengan menawarkan harga yang bisa bersaing untuk membantu rumah sakit. "Tidak perlu sanksi betul-betul, tapi karena sudah menjalankan ya alhamdulillah,” kata Hesty.
Anggota Ombudsman RI Alvin Lie sebelumnya juga mengaku khawatir ada indikasi terjadinya monopoli atau oligopoli alat rapid test sehingga tarif rapid test lebih tinggi daripada yang ditetapkan Kemenkes. Kekhawatiran tersebut didasarkan laporan yang dia terima di sejumlah daerah bahwa alat rapid test itu dibeli dengan harga di atas Rp 200 ribu.
"Selama ini biaya rapid test Covid itu harganya gila-gilaan karena sudah menjadi komoditas dagang, itu ada sanksinya atau tidak (kalau menetapkan tarif di atas Rp150 ribu)," kata Alvin.