TEMPO.CO, Jakarta- Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon meminta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menerapkan standar yang sama dalam menangani buronan. Alasannya, jangan sampai keberhasilan mengekstradisi pembobol ATM BNI, Maria Pauline Lumowa, dari Serbia diartikan lain oleh publik.
"Jangan sampai nanti orang menduga berlomba-lomba menonjolkan prestasinya karena takut di-reshuffle," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 9 Juli 2020.
Fadli membandingkan upaya Kemenkum HAM menangani Maria Lumowa dengan proses pencarian terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra. Menurut dia, Joko Tjandra begitu mudah lolos keluar dan masuk Indonesia hingga bisa mendapatkan e-KTP.
Padahal satu-satunya pintu seseorang bisa keluar masuk Indonesia melalui Imigrasi. "Kecuali dia masuk masjid melalui perbatasan yang tidak ada penjaganya. Jadi menurut saya tidak mungkin bisa lolos kalau imigrasinya tidak aware terhadap keluar masuk orang," tuturnya.
Fadli menantang Kemenkum HAM untuk mengakhiri pelarian Joko Tjandra seperti yang mereka lakukan terhadap Maria. "Kalau prestasi itu terus-menerus, mereka yang buron ditangkapi, bukan kemudian ada peristiwa ini baru menonjol jadinya," ucap dia.
Isu reshuffle mengemuka setelah Presiden Jokowi secara terbuka melontarkan ancaman bakal mengganti menteri-menteri yang performanya kurang memuaskan. Ancaman itu Jokowi sampaikan saat membuka rapat kabinet paripurna di Istana beberapa waktu lalu.
Dalam berbagai survei opini publik, nama Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly masuk daftar teratas menteri yang layak dicopot. Survei Indonesia Political Opinion (IPO), misalnya, menempatkan Yasonna paling layak untuk di-reshuffle. Sebanyak 64,1 persen responden menginginkannya.
AHMAD FAIZ