TEMPO.CO, Jakarta-Pegiat antikorupsi Muji Kartika Rahayu menilai, sebenarnya tidak sulit bagi Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi atau Dewas KPK mengusut dugaan pelanggaran kode etik Firli Bahuri. Menurut dia, setidaknya ada dua alasan mengapa dewan pengawas lebih mudah mengusut kasus ini.
Pertama, Dewas KPK merupakan lembaga permanen, bukan ad hoc. Dengan status permanen, mereka seharusnya bisa lebih fokus dan punya waktu lebih banyak untuk mengusut dugaan pelanggaran itu.
"Jadi seharusnya tiap hari kerjaannya memantau kinerja dan pelanggaran etik dan seterusnya, sehingga dia bisa bekerja lebih cepat bukan hanya represif, tapi juga prefentif," kata Kartika dalam diskusi daring Indonesia Corruption Watch, Rabu, 8 Juli 2020.
Kartika menuturkan sebelum ada dewan pengawas, dugaan pelanggaran etik mesti diusut oleh tim ad hoc yang dibentuk oleh KPK. Tim yang disebut sebagai Dewan Etik itu harus bekerja dalam waktu tertentu, lalu baru mengeluarkan putusan. Putusan itu juga tak bisa langsung dilaksanakan, melainkan harus diserahkan ke pimpinan KPK. "Kendala itu teratasi oleh dewan pengawas (sekarang ini)," kata dia.
Kedua, Dewas KPK juga memiliki dasar hukum yang kuat. Dewas ditunjuk langsung oleh presiden. Bahkan Dewas sendiri yang membuat kode etik yang kemudian menjadi standar prilaku insan KPK. "Tidak ada alasan Dewas merasa kesulitan, alasan yang paling mungkin kita terima adalah Dewas bagian dari rezim yang menganggap korupsi bukan kejahatan luar biasa," ujar dia.
Firli dilaporkan ke Dewas KPK karena dugaan memakai helikopter saat berkunjung ke Sumatera Selatan pada 20 Juni lalu. Tindakan itu dinilai melanggar kode etik soal pimpinan KPK dilarang hidup mewah. Saat ini, Dewas menyatakan masih mengumpulkan bukti dan memeriksa saksi terkait laporan tersebut.