TEMPO.CO, Jakarta - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 414 tentang ambang batas parlemen ke Mahkamah Konstitusi. Sidang pendahuluan digelar pada Rabu, 8 Juli 2020.
Menurut Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, tuntunannya kali ini berbeda dari lima tuntutan sebelumnya yang juga mempersoalkan ambang batas parlemen. “Yang diujikan dalam permohonan kali ini adalah penentuan besaran ambang batas parlemen,” ujar Titi di gedung MK, Rabu, 8 Juli 2020.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Fadli Ramadhanil selaku kuasa hukum pemohon. Permohonan kali ini tidak lagi menyoal eksistensi ambang batas parlemen, melainkan hendak menguji pengaturan besaran ambang batas parlemen serta relasinya dengan sistem pemilu proposional. “Alasan tersebut belum pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi sebelumnya, untuk dinilai konstitusionalitasnya,” ujar Fadli.
Sebelumnya, melalui UU Pemilu 2017, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 4 persen. Ini mengakibatkan suara partai yang memperoleh suara sah nasional di bawah 4 persen tidak dapat dikonversi ke dalam kursi dan perolehan suaranya akan terbuang.
Menanggapi soal ini, Saldi Isra selaku hakim konstitusi mempersoalkan beberapa hal, salah satunya konsekuensi tuntutan terhadap prinsip pemilu sistem presidensial. “Untuk penguatan sistem presidensial itu harus dilakukan penyederhanaan partai politik. Ternyata, formula yang saudara tawarkan ke kami itu malah menjadikan partai di DPR lebih banyak,” ujar Saldi Isra.
RAFI ABIYYU