TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban meminta kepolisian menjerat pelaku pemalsuan dokumen keterampilan pelaut dengan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang. LPSK menilai pemalsuan dokumen mempermudah pelaku TPPO dalam mempekerjakan para korban.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan perdagangan orang dimulai sejak proses perekrutan. Para korban diiming-imingi pekerjaan legal, majikan baik dan penghasilan cukup. Bahkan, bagi keluarga korban, perekrut memberikan sejumlah uang tali asih.
“Mereka (korban) kemudian dibekali dokumen identitas palsu, KTP, dan paspor,” kata Edwin lewat keterangan tertulis, Ahad, 28 Juni 2020.
Ia melanjutkan praktek perdagangan orang biasanya melibatkan dua pihak yaitu, penyalur dan pihak perusahaan atau kapal penerimanya. Penyalur bertugas melakukan perekrutan, penyiapan dokumen, perjanjian kerja dan pengiriman para ABK ini ke negara tujuan.
Sementara perusahaan atau kapal penangkap ikan merupakan milik warga negara asing. Selain orang perorangan, korporasi, kelompok terorganisir, dia mengatakan penyelenggara negara juga dapat dijerat sebagai pelaku TPPO.
“Perbudakan pada sektor perikanan ini melibatkan banyak negara sehingga masuk ke dalam kategori kejahatan lintas negara,” ujar Edwin.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya dan Satuan Tugas Kementerian Perhubungan menangkap 11 orang yang diduga memalsukan 5.041 sertifikat keterampilan pelaut. Dalam aksinya para tersangka melakukan peretasan terhadap situs resmi Kementerian Perhubungan.
Pengungkapan kasus ini diawali dari beberapa kasus yang menimpa anak buah kapal Indonesia, termasuk dua ABK Indonesia yang loncat dari Kapal Lu Qing Yuan Yu berbendera Tiongkok di Perairan Batam karena mendapat perlakuan buruk, kekerasan fisik dan gajinya tidak dibayar.