TEMPO.CO, Jakarta-Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ( KontraS) menyebut Polri masih menjadi pelaku penyiksaan dengan jumlah kasus terbanyak, yakni 48. Hasil itu didapatkan melalui survei yang KontraS lakukan sejak Juni 2019 hingga Mei 2020.
Rinciannya, 28 kasus di kepolisian resor, 11 kasus di kepolisian sektor, dan 8 kasus di kepolisian daerah. Para personel ini kebanyakan menggunakan tangan kosong sebagai instrumen penyiksaan. "Kami menduga praktik penyiksaan ini berlangsung saat proses interogasi saat seseorang berstatus sebagai tersangka," ujar Peneliti Kontras, Rivanlee Anandar, melalui konferensi pers daring, Kamis, 25 Juni 2020.
Salah satu kasus yang diangkat KontraS sebagai contoh adalah ketika Irfan, warga di Jeneponto, Sulawesi Selatan, menjadi korban salah tangkap dan penyiksaan oleh lima anggota Tim Pegasus Polres Jeneponto. Ia dipaksa mengaku oleh polisi sebagai pelaku pencurian emas seberat 70gram milik Daeng Nojeng, mantan atasannya yang juga pemilik wisata lembah hijau rumbia. Namun, keesokan harinya Irfan dilepaskan karena tidak terbukti melakukan tindak pidana.
Institusi kedua yang turut menjadi pelaku penyiksaan adalah TNI dengan 9 kasus. Berbeda dengan Polri, TNI melakukan praktik penyiksaan dengan motif sebagai penghukuman. Rivan menuturkan, praktik penyiksaan oleh TNI didominasi oleh Angkatan Darat dengan 7 kasus, dan 1 kasus dari Angkatan Laut. Untuk instrumen penyiksaan yang dominan ialah tangan kosong dan senjata api.
Kemudian, peringkat ketiga adalah sipir di Lembaga Pemasyarakatan dengan 5 kasus. Dari 5 kasus ini, sebanyak 7 orang korban, yakni 6 narapidana dan 1 tahanan, menderita luka-luka. Para sipir menggunakan tangan kosong dan benda tumpul.
Atas temuan itu KontraS mengimbau agar Polri, TNI, serta Lapas membuka diri untuk evaluasi secara menyeluruh dengan melibatkan pengawasan eksternal. "Ketiga institusi itu harus memastikan bahwa anggotanya yang terlibat dalam kasus penyiksaan diproses secara adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku, dengan mekanisme hukum yang transparan dan dapat diakses oleh publik," kata Rivan.
KontraS menyarankan agar institusi-institusi negara independen yang memiliki mandat untuk melakukan fungsi pengawasan, pemantauan, perlindungan dan pemulihan secara ketat harus menggunakan alat ukur terpercaya untuk mempersempit ruang gerak para pelaku kejahatan penyiksaan.
"Institusi eksternal tersebut harus dipastikan dapat bersinergi dengan institusi negara lainnya (internal) untuk memastikan adanya mekanisme pencegahan, penghukuman atas kejahatan penyiksaan yang masih berjalan, perlindungan kepada saksi dan korban serta pemulihan hak-hak korban sesuai dengan standar instrumen hukum HAM Internasional," ujar Rivan.
ANDITA RAHMA