TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum Bagir Manan menyoroti persoalan kuorumnya rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat dalam pengesahan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK.
Bagir mengatakan rapat itu harus dihadiri secara fisik oleh anggota DPR, tak bisa cuma kuorum di daftar hadir.
"Saya sepakat semestinya tidak ada ketentuan dalam tata tertib DPR bahwa kehadiran cukup dengan tanda tangan, dia harus physically ada di sana," kata Bagir saat menjadi saksi ahli dalam sidang uji formil UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Rabu, 24 Juni 2020.
Bagir mengatakan ketentuan kehadiran fisik ini berlaku di seluruh dunia. Ia mempertanyakan bagaimana seseorang yang tak hadir bisa memutus setuju atau tidak setuju.
Jika tidak dihadiri oleh lebih dari separuh anggota DPR, Bagir menilai syarat konstitutif pengesahan UU tidak terpenuhi. "Jika syarat konstitutif tidak dipenuhi, batal demi hukum. Jadi jangan main-main," kata mantan Ketua Mahkamah Agung ini.
Pakar hukum dari Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto yang juga menjadi saksi ahli pun berpendapat senada. Aan mengatakan ada tiga esensi mengapa paripurna harus kuorum secara fisik.
Pertama, anggota DPR sebagai wakil rakyat harus menyampaikan aspirasi dari yang diwakili. Wujud aspirasi ini harus secara langsung bisa dilihat dan didengar dalam suatu pengambilan keputusan.
"Wakil rakyat harus hadir dalam gedung tersebut, sehingga dia bisa mengungkapkan ini rasa rakyat, ini pendapatnya," ucap Aan.
Kedua, Aan mengatakan pengambilan keputusan juga harus dilakukan DPR sebagai lembaga, bukan fraksi atau anggota. Rapat paripurna pun menjadi forum bagi anggota yang tak terlibat dalam pembahasan untuk menyampaikan pendapatnya.
Ketiga, kehadiran fisik penting untuk mengantisipasi tidak terjadinya kesepakatan hingga harus voting. Jika rapat tidak kuorum secara fisik, voting tidak akan bisa dilakukan. "Inilah urgensinya harus hadir secara fisik," kata Aan.
Kuasa hukum pemohon, Kurnia Ramadhana mengatakan pihaknya telah menyerahkan bukti tidak kuorumnya rapat paripurna itu kepada majelis hakim. Menurut dia, rapat paripurna pada 17 September itu hanya dihadiri secara fisik oleh sekitar 120 dari total 560 anggota DPR.