TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat mempertanyakan sikap pemerintah yang tak segera melanjutkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP dan RUU Pemasyarakatan. Hal ini disampaikan dalam rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
“Pembahasan RKUHP dan RUU Pemasyarakatan harus menunggu surat dari Presiden Joko Widodo,” ujar Yasonna dalam rapat kerja di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 22 Juni 2020. Dia menyarankan DPR berkirim surat kepada Presiden untuk meminta kelanjutan pembahasan dua RUU itu.
"Sebagai pembantu Presiden saya tidak bisa ambil inisiatif sendiri, karena sebelumnya ada persoalan yang memberikan dampak besar kepada publik." Menurut Yasonna, sudah ada surat dari Sekretariat Kabinet yang menyatakan bahwa pembahasan peraturan perundang-undangan yang menuai perhatian publik harus diputuskan di rapat terbatas kabinet.
Sejumlah pasal RKUHP dianggap masyarakat sipil masih kontroversial. Salah satu pasal yang masih dipersoalkan adalah pasal penghinaan presiden.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menuntut pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dengan bentuk apapun dihapuskan. “RKUHP masih memuat aturan-aturan yang dapat membawa Indonesia kembali pada masa kolonialisme, atau bahkan lebih buruk dari masa kolonialisme,” kata Direktur Eksekutif ICJR, Anggara dalam keterangan tertulis Kamis, 29 Agustus 2019.
Menurut Anggara dari draft versi 28 Agustus 2019, pasal yang sebelumnya dikenal dengan nama tindak pidana “penghinaan presiden” berganti terminologi menjadi “Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden".
Pasal 218-220 soal Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden serupa dengan Pasal 134 dan 137 di KUHP tentang penghinaan terhadap presiden. “Pasal 134 dan 137 ayat (1) KUHP tentang penghinaan terhadap presiden adalah warisan kolonial Belanda.”
Menurut Anggara pasal ini tidak sesuai dengan negara demokrasi. KUHP warisan Belanda dulu merumuskan pasal ini untuk melindungi martabat ratu. Sedangkan presiden, kata dia, dipilih oleh rakyat dan harus bisa menerima kritik.