TEMPO.CO, Jakarta - Tim Pembela Kebebasan Pers menyatakan siap menghadapi banding pemerintah dalam perkara pemblokiran internet di Papua pada 2019. "Kami siap menghadapi banding dan meyakini putusan majelis hakim di pengadilan tinggi akan kembali memenangkan atau menguatkan putusan PTUN Jakarta," ujar anggota Tim Pembela Kebebasan Pers, Ade Wahyudin lewat keterangan tertulis pada Jumat malam, 19 Juni 2020.
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menyatakan pemerintah melanggar hukum dalam perkara ini. Tak terima, pemerintah mengajukan banding.
Majelis hakim menyatakan tindakan tergugat I (Menkominfo) dan Tergugat II (Presiden RI) yang memperlambat dan memutus akses internet di Papua da n Papua Barat pada Agustus dan September 2019 adalah perbuatan melanggar hukum. Hakim juga menghukum tergugat membayar biaya perkara.
Dalam sidang, gugatan yang diajukan Tim Pembela Kebebasan Pers memenuhi syarat untuk mengajukan gugatan dengan mekanisme gugatan legal standing. Hakim juga menyatakan gugatannya jelas atau tidak kabur. Soal gugatan terhadap Presiden RI, kata Hakim, bukan merupakan error in persona. Presiden dinilai bisa digugat karena tidak melakukan kontrol dan koreksi terhadap bawahannya dalam pelambatan dan pemblokiran internet ini.
Majelis hakim juga menilai tindakan pemutusan akses internet ini menyalahi sejumlah ketentuan perundang-undangan. Antara lain, Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang menjadi dasar hukum Kemenkominfo memperlambat dan memblokir internet.
Majelis hakim menilai, kewenangan yang diberikan dalam pasal itu hanya pada pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik melakukan pemutusan akses terhadap terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang “bermuatan melawan hukum”.
"Pemaknaan pembatasan hak atas internet yang dirumuskan dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE hanya terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum dan tidak mencakup pemutusan akses jaringan internet," kata majelis hakim dalam putusannya.
Selain itu, majelis hakim juga menyatakan, alasan diskresi yang digunakan Kemkominfo untuk memperlambat dan memblokir internet dinilai tidak memenuhi syarat sebagaiman Undang Undang Administrasi Pemerintah 30/2014. Pengaturan diskresi dalam UU Administrasi adalah satu kesatuan secara komulatif, bukan alternatif, yakni untuk; melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; mengisi kekosongan hukum; memberikan kepastian hukum; dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Hakim juga menilai alasan Kemenkominfo menggunakan diskresi karena kekosongan hukum, juga tidak tepat. Sebab, dalam kebijakan yang sifatnya membatasi HAM seperti dalam pembatasan pemblokiran internet ini hanya dibolehkan dengan undang-undang, bukan dengan aturan hukum lebih rendah dari itu.
Sebenarnya ada undang-undang yang bisa dipakai sebagai dasar untuk membatasi hak, yaitu Undang Undang tentang Keadaan Bahaya. Namun pemerintah tidak menggunakan undang-undang itu dalam menangani penyebaran informasi hoaks dalam perkara Papua ini. Hakim juga menilai pemutusan akses internet tidak sesuai dengan pengaturan pembatasan HAM yang diatur dalam konstitusi dan sejumlah kovensi hak asasi manusia lainnya.
Putusan majelis hakim yang dengan gamblang memutus perkara ini dengan berbagai pertimbangan, membuat Tim Pembela Kebebasan Pers percaya diri bisa memenangkan banding.
Menurut Tim, pengajuan banding perkara pemblokiran internet ini hanya menegaskan pemerintah tidak memahami fungsi dan peran peradilan, serta tidak mau menerima partisipasi dan koreksi dari masyarakat. “Ini akan melukai hati dan rasa keadilan bagi masyarakat Papua dan Papua Barat yang menjadi korban perlambatan dan pemutusan akses internet," ujar Ade.