TEMPO.CO, Jakarta- Ombudsman Republik Indonesia mengungkapkan hasil posko laporan yang mereka bentuk selama pandemi Covid-19. Dari laporan yang masuk, paling banyak mengenai bantuan sosial. "Secara total hingga 16 Juni 2020, laporan terkait bansos mencapai 1.242 pengaduan atau 83,5 persen," ujar Ketua Ombudsman Amzulian Rifai dalam konferensi pers, Kamis, 18 Juni 2020.
Amzulian menuturkan, masalah yang diadukan warga beragam. Salah satunya soal intimidasi oleh pejabat penyelenggara layanan. Tingkatan intimidasi, kata Amzulian, cukup merata terjadi di Banten, Lampung, hingga Jawa Tengah. "Mulai dari tingkat RT, RW, kecamatan, hingga pemerintah kabupaten/ kota, yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia," ujar Amzulian.
Namun, kata anggota Ombudsman yang membidangi Bansos, Ahmad Su'adi, beberapa masalah intimidasi ini sudah terselesaikan. Ia mencontohkan di Banjarnegara, ada pelapor yang dipanggil pejabat setempat dan menginterogasinya. "Itu diselesaikan dengan happy ending. Alhamdulillah, pejabatnya sadar itu laporan wajar yang tak perlu diributkan. Karena memang datanya (yang dilaporkan) tak seharusnya punya hak (dapat bantuan), tapi menerima," kata Ahmad.
Selain itu, Ombudsman juga mendapat pengaduan soal bantuan langsung tunai (BLT) yang nilainya di bawah standar yang ditentukan Kementerian Sosial. Ada pula data orang meninggal, tapi tercatat sebagai penerima bantuan.
Bahkan menurut Ahmad, terdapat pengaduan mengenai perangkat desa hingga anggota badan musyawarah daerah yang turut mengajukan bantuan. Padahal, mereka tak masuk kriteria penerima bantuan. "Ternyata pendataan tak cukup akurat, sehingga meski dia perangkat desa dan pejabat badan musyawarah daerah, mereka lolos (dapat bantuan)," kata Ahmad.
Ahmad berujar masalah tersebut juga telah berhasil diselesaikan saat Ombudsman melakukan intervensi. Setelah prosedur dijelaskan, mereka akhirnya mundur dengan sukarela dan bahkan mengembalikan bantuan yang didapat.
Sejak program bantuan sosial bergulir, menurutnya, masalah utama yang terjadi di lapangan adalah pendataan. Pemerintah, ucap dia, cukup sulit mengkonsolidasikan data, antara data sebelum pandemi dengan setelah pandemi. "Kami mencoba mendorong agar pendataan terus berlanjut meski ada masalah, seperti masyarakat yang tak punya kTP, atau bertempat tinggal tidak sesuai dengan KTP," kata dia.