TEMPO.CO, Jakarta - ICW (Indonesia Corruption Watch) mengecam pemberian remisi terhadap mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin sehingga akan bebas pada 13 Agustus 2020..
Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 34 A ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 (PP 99/2012).
Aturan itu tegas menyebutkan syarat terpidana kasus korupsi untuk mendapatkan remisi diantaranya adalah bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya atau menajdi justice collaborator (JC).
"Sedangkan menurut KPK, Nazaruddin tidak pernah mendapatkan status sebagai JC," ujar Kurnia lewat keterangannya hari ini, Rabu, 17 Juni 2020.
Pemberian remisi kepada Nazaruddin yang totalnya 45 bulan 120 hari, kata Kurnia, semakin menguatkan indikasi bahwa Kemenkumham tidak berpihak pada isu pemberantasan korupsi.
Berdasarkan putusan dua perkara korupsi yang menjerat Nazaruddin, seharusnya terpidana ini baru dapat menghirup udara bebas pada 2025 setelah menjalani hukuman penjara 13 tahun.
"Ke depan pelaku kejahatan korupsi tidak akan pernah mendapatkan efek jera."
ICW menuntut Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly segera menganulir keputusan cuti menjelang bebas atas terpidana Muhammad Nazaruddin.
"Kami juga menuntut Presiden Joko Widodo mengevaluasi kinerja Menteri Hukum dan HAM," ucapnya.
Nazaruddin keluar dari Lembaga Pemasyarakat Sukamiskin, Bandung, untuk menjalani cuti menjelang bebas sejak Minggu, 14 Juni 2020.
Nazaruddin divonis untuk dua perkara, yakni korupsi proyek Wisma Atlet Hambalang pada 2012 dan pencucian uang pada 2016. Ia dihukum 6 tahun penjara untuk kasus pencucian uang dan 7 tahun penjara untuk korupsi Wisma Atlet.