TEMPO.CO, Jakarta - Pimpinan Pusat Muhammadiyah meminta pembahasan Rancangan Undang-undang atau RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) tak dilanjutkan.
Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan kajian lembaganya menemukan bahwa materi RUU Haluan Ideologi Pancasila banyak bertentangan dengan UUD 1945 dan sejumlah undang-undang.
"PP Muhammadiyah berpendapat RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahapan berikutnya untuk disahkan menjadi undang-undang," kata Haedar dalam keterangan tertulis hari ini, Senin, 15 Juni 2020.
Menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti, RUU Haluan Ideologi Pancasila mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Justru akan timbul kontroversi yang kontraproduktif jika pembahasan dipaksakan untuk dilanjutkan.
Abdul Mu'ti juga menilai hal itu berpotensi membuka kembali perdebatan dan polemik ideologis dalam sejarah perumusan Pancasila yang sudah berakhir dan harus diakhiri setelah tercapai kesepakatan luhur, arif, dan bijaksana dari para pendiri bangsa.
Abdul Mu'ti pun berpendapat kontroversi RUU Haluan Ideologi Pancasila akan menguras energi bangsa dan bisa memecah belah persatuan.
"Lebih-lebih di tengah negara dan bangsa Indonesia menghadapi pandemi Covid-19 yang sangat berat dengan segala dampaknya," ujar dia.
Abdul Mu'ti mengatakan, dalam situasi pandemi Covid-19 diperlukan situasi dan kondisi aman serta persatuan yang kuat.
Menurut dia, yang sangat penting dilakukan adalah pelaksanaan nilai-nilai Pancasila yang ada di dalamnya dalam kehidupan pribadi, berbangsa, dan bernegara.
Seluruh institusi kenegaraan baik eksekutif, legislatif, maupun lembaga-lembaga resmi pemerintahan semestinya berkonsentrasi penuh dan bersinergi menangani pandemi Covid-19 serta segala dampaknya.
"Muhammadiyah mendesak DPR untuk lebih sensitif dan akomodatif terhadap arus aspirasi terbesar masyarakat Indonesia yang menolak RUU HIP," ujar Abdul Mu'ti.
Ada sejumlah poin yang disoroti PP Muhammadiyah dari RUU Haluan Ideologi Pancasila. Poin-poin itu di antaranya tujuan dan manfaat pembentukannya, ketiadaan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 sebagai rujukan, keberadaan Pasal trisila, ekasila, serta ketuhanan yang berkebudayaan, hingga penguatan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang dinilai tidak diperlukan.
Menurut dia, secara hukum kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara dinilai sudah sangat kuat. Di sisi lain, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan, undang-undang dibuat seharusnya karena dibutuhkan dan akan bermanfaat mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
"Mengandalkan terus-menerus peneguhan dan pengamalan Pancasila pada perangkat perundang-undangan, lebih-lebih yang kontroversial, justru semakin menjauhkan diri dari implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," kata Abdul Mu'ti.