TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo menyoroti dugaan diskriminasi hukum terhadap tujuh pemuda Papua yang dituntut 5-17 tahun di Pengadilan Tinggi Balikpapan, Kalimantan Timur. Bamsoet, sapaan Bambang, meminta penegak hukum mengedepankan pendekatan persuasif, humanis, dan strategis dalam menyelesaikan kasus itu.
"Sehingga tidak memicu timbulnya konflik lanjutan yang bisa menimbulkan gejolak," kata Bamsoet dalam keterangan tertulis, dikutip Ahad, 14 Juni 2020.
Bamsoet menyinggung terjadinya insiden rasisme di asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada Agustus tahun lalu, yang bermula dari kesalahpahaman dugaan perusakan bendera merah putih. Karena tak dikelola dengan baik, kata dia, insiden itu memicu timbulnya konflik berujung pada tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua.
Menurut mantan Ketua Komisi Hukum DPR ini, salah satu yang kini disorot adalah kesenjangan vonis terhadap aparatur sipil negara di Surabaya yang melakukan ujaran rasisme dan mendapat vonis lima bulan penjara.
"Dinilai kontras dengan tuntutan pendemo kasus rasisme yang dituntut hukuman hingga belasan tahun penjara dengan tuduhan makar," ujar Bamsoet.
Bamsoet pun berharap proses peradilan berjalan transparan dari hulu ke hilir. Prinsip penegakan hukum menjamin adanya perlindungan hak-hak hukum warga negara.
Bamsoet juga mengatakan perlu kehati-hatian untuk terkait dugaan kasus makar.
"Diperlukan pikiran yang terbuka hingga dapat melihat segala persoalan dari berbagai sudut pandang, sehingga melahirkan putusan yang benar-benar memenuhi rasa keadilan masyarakat," ucap dia.
Tujuh pemuda Papua didakwa makar di Pengadilan Negeri Balikpapan karena aksi demonstrasi di Jayapura pada tahun lalu memprotes insiden rasisme di Surabaya. Mereka kini dituntut dengan hukuman berat, yakni 5-17 tahun.