TEMPO.CO, Jakarta - Teror dan represi mewarnai sejumlah acara diskusi yang mengangkat tema tentang Papua dalam beberapa pekan belakangan.
Penggunaan teknologi informasi untuk diskusi di tengah pandemi Covid-19 membuat teror dilakukan secara digital.
Korbannya pun semakin beragam. Mulai dari Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, aktivis kemanusiaan Veronica Koman, hingga dosen antropologi FIB UNIPA, I Ngurah Suryawan.
Bentuk intimidasinya juga beragam, mulai via telepon misterius ke nomor pribadi hingga zoombombing (mengganggu diskusi yang dilakukan di aplikasi Zoom meeting).
"Penyebabnya adalah lemahnya supremasi hukum (rule of law) dan kekakuan ideologis otoritas negara," kata Usman Hamid pada Sabtu silam, 6 Juni 2020.
Usman Hamid mengatakan zoombombing dan teror secara digital mencerminkan yang sebenarnya terjadi terhadap kemerdekaan berpendapat di ranah offline.
Represi terhadap kebebasan berpendapat di era Covid-19 pun, kata dia, memperlihatkan kelanjutan dari represi pada era sebelumnya.
Tempo menghimpun beberapa kasus teror terhadap penyelengara dan peserta diskusi seputar Papua dalam beberapa waktu belakangan ini:
1. Teror Penelepon Misterius di awal Mei
Dari catatan Amnesty International Indonesia, pada awal Mei lalu Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) mengalami teror. Tiga pembicara, termasuk Dosen Antropologi FIB UNIPA I Ngurah Suryawan dan Ketua AMP John Gobay dihubungi telepon dari orang tak dikenal puluhan kali.
Menurut Usman Hamid, para pembicara terpaksa diskusi tentang Papua itu harus log off dari diskusi virtual tersebut lalu masuk kembali menggunakan laptop.
Moderator diskusi juga jadi korban.
2. Diskusi FRI-WP
Hal serupa terjadi di diskusi via Zoom meeting yang digelar Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP). Korbannya Mikael Kudiyai, salah satu pembicara.
Tercatat sekitar 17 ribu penonton yang menyaksikan diskusi tersebut saat teror terjadi.
3. Penelpon Misterius di Diskusi Amnesty
Pada 4 Juni 2020, tiga pembicara dalam diskusi virtual bertema Laporan terbaru Amnesty International untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan judul “Civil and Political Rights’ Violations in Papua and West Papua”, mendapat penelepon misterius.
Para penelepon menggunakan nomor luar negeri dan berbeda-beda tiap waktunya. Telepon pun dilakukan saat para pembicara tengah memaparkan materinya.
Yuliana S Yabansabra dari Elsham Papua yang juga menjadi korban, mengatakan ini bentuk pembatasan kebebasan berpendapat.
"Mereka tak mau kita bicara tak mau kita sampaikan apa yang benar-benar terjadi di Papua," kata Yuliana.
4. Teror terhadap Mahasiswa Unila
Yang paling baru adalah ancaman dari orang yang tidak kenal terhadap dua mahasiswa aktivid Unit Kegiatan Mahasiswa Teknokra Universitas Lampung, pada Rabu, 10 Juni 2020.
Teror ini diduga terjadi karena mereka mengadakan diskusi bertema diskriminasi rasial terhadap Papua pada Kamis, 11 Juni 2020.
Teror dialami dua anggota Teknokra melalui pesan singkat Whatsapp sampai peretasan akun ojek online.
"Iya ada teror sampai memberikan ancaman," ujar Pimpinan Umum Teknokra Chairul Rahman Arif saat dihubungi, Rabu 10 Juni 2020.
Chairul menerima sejumlah pesan bernanda ancaman bahkan menyertakan alamat dan indentitas kedua orang tuanya. Dalam pesan tersebut diskusi soal rasial terhadap Papua dituding sebagai provokasi
Diskusi itu menghadirkan sejumlah pembicara, yaitu Juru Bicara Front Rakyat Indonesia for West Papua Surya Anta Giting, Ketua Aliansi Mahasiswa Papua Jhon Gobai, dan Tantowi Anwar yang mewakili Serikat Jurnalisme untuk Keberagaman.
5. Zoombombing di Sidang
Tak hanya diskusi, gangguan juga terjadi dalam sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tentang gugatan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat oleh Pemerintah.
Gangguan dilakukan dengan Zoombombing dalam bentuk mengirimkan gambar-gambar porno dalam sidang yang dapat disaksikan lewat aplikasi Zoom.
"Itu (persoalan) serius. Karena itu link Zoom resmi dari pengadilan," ujar Usman Hamid.