TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis Serikat Jurnalisme untuk Keberagaman (SEJUK), Tantowi Anwari, menilai media di Indonesia secara umum masih memiliki perspektif rasis dalam pemberitaan, terutama jika bicara isu Papua.
"Perspektif nondiskriminasi itu tidak didapat oleh teman jurnalis karena memang kalau dilihat dari fakta pemberitaan dengan mereka (jurnalis) yang baru lulus dan mungkin engga dapat pemahaman terlebih dulu, kan cukup banyak," ucap Tantowi dalam diskusi daring pada Kamis, 11 Juni 2020.
Selain itu, tak sedikit juga jurnalis yang tak menerapkan kode etik jurnalistik dalam menulis pemberitaan. Padahal dalam Pasal 8 sudah tertulis bahwa seorang jurnalis tidak boleh bersikap rasis.
Apalagi, kata Tantowi, jumlah media yang bicara soal Papua hanya sedikit. Pun jika media nasional memberitakan Papua, hanya ketika ada peristiwa besar terjadi. "Misalnya ketika ada kasus makar, kekerasan. Tapi apakah mereka sudah memberikan ruang terhadap suara Papua, atau mereka yang menjadi korban?" ucap Tantowi.
Lebih lanjut, dia menilai pemberitaan tentang Papua biasanya hanya bersumber dari pemerintah, dalam hal ini Polri atau TNI. Meski informasi yang didapat resmi, tetapi Tantowi menyayangkan lantaran sebagian besar jurnalis memberitakan satu sisi, yakni hanya dari sisi pemerintah.
Hal tersebut kemudian memunculkan ketimpangan informasi. Terlebih lagi, menurut Tantowi, di pemerintahan era Presiden Joko Widodo ini, kebebasan pers tidak terasa. Ia mencontohkan dengan sulitnya mengurus izin ketika para jurnalis yang ingin datang meliput langsung ke Papua. "Padahal kebebasan pers sangat krusial, itu hak mendasar," kata Tantowi.