TEMPO.CO, Jakarta - Partai-partai nonparlemen menolak rencana kenaikan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) menjadi 5-7 persen melalui revisi UU Pemilu.
Mereka justru mengusulkan ambang batas pembentukan fraksi atau fractional threshold dalam UU Pemilu yang baru untuk aturan main Pemilu 2024.
"Solusi yang paling fair adalah pemberlakuan fraction threshold," kata Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia Raja Juli Antoni kepada Tempo, Rabu, 10 Mei 2020.
Antoni menjelaskan seluruh kader partai yang mendapatkan kursi DPR harus mendapatkan haknya. Mereka harus bergabung dengan partai lain dalam di dalam DPR jika jumlahnya tak bisa mencukupi untuk membentuk fraksi sendiri.
Dia mencontohkan, partai-partai di DPR bisa bergabung untuk mencapai akumulasi 10-15 persen perolehan suara.
Menurut Antoni, dengan mekanisme itu suara rakyat (pemilih) terwakili di DPR.
"Juga akan terjadi pengelompokan ideologis partai di DPR serta akan lebih efektif dalam pengambilan keputusan," ucap Antoni.
Adapun Sekjen Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Ahmad Rofiq mengatakan fractional threshold pernah diberlakukan di Pemilu 1999. Fractional threshold lebih mengutamakan demokrasi yang sesungguhnya ketimbang PT.
Pada Pemilu 1999, PT didasarkan pada proporsional dan suara terbanyak di daerah tingkat II.
Dengan PT 4 persen pada Pemilu 2019, Rofiq melanjutkan, sekitar 13,5 juta suara sah hangus. Sebanyak 13,5 juta suara itu adalah gabungan suara pemilih partai-partai yang tak lolos PT, seperti PSI dan Perindo.
"Lebih tinggi dari suara NasDem dan PKB," ujar Rofiq.
Sejumlah partai besar mengusulkan kenaikan PT. Partai Golkar dan Partai NasDem ingin PT untuk DPR naik menjadi 7 persen dalam UU Pemilu yang baru. Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Kebangkitan Bangsa mengusulkan PT 5 persen.