TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi bersama sejumlah kementerian tengah menyusun revisi Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2015 yang mengatur kenaikan gaji pimpinan lembaga antirasuah. Dalam waktu dekat, KPK bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berserta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) akan segera membuat kajian akademik tentang usul itu.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan dalam rapat terakhir antara KPK bersama Kemenkumham bersama Kemenpan RB telah menyepakati beberapa hal, termasuk penyusunan kajian akademik. "Kajian akademik akan segera diserahkan kepada Kementerian Kumham agar bisa ditindaklanjuti dengan permintaan penilaian kepada Kemenpan RB," kata Ali Fikri, Selasa, 9 Juni 2020.
Selama ini pembahasan draf revisi PP Nomor 82 belum memiliki kajian akademik sehingga belum diketahui besaran jumlah gaji yang layak untuk pimpinan KPK. Kajian akademik juga mencantumkan alasan wacana kenaikan gaji pimpinan KPK.
April lalu, Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan pimpinan KPK periode sebelumnya telah mengusulkan kenaikan gaji pada 15 Juli 2019. Usulan kenaikannya, dari Rp 123 juta per bulan menjadi Rp 300 juta per bulan. Menurut Firli, lembaganya akan berfokus pada persoalan penanganan Covid-19 ketimbang kenaikan gaji. Namun beberapa waktu kemudian KPK tiba-tiba membahas kenaikan gaji bersama sejumlah kementerian.
Ali Fikri menjelaskan bahwa lembaganya diundang Kementerian Hukum dan HAM untuk berdiskusi mengenai kenaikan gaji pimpinan KPK. Rapat digelar melalui video conference yang dihadiri oleh tim Sekretariat Jenderal KPK. "Untuk menghormati undangan itu, kami hadir dan menyampaikan arahan pimpinan bahwa pembahasan itu diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah apakah akan dilanjutkan kembali penyusunannya," kata dia.
Ali menyatakan bahwa lembaganya sama sekali tidak mengambil inisiatif untuk mengusulkan kenaikan gaji. Termasuk membahas perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2015 yang mengatur gaji pimpinan KPK. Pembahasan dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB).
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, tidak merespons ketika dimintai konfirmasi oleh Tempo. Ia hanya membaca pesan yang dikirim ke nomor ponselnya. Hal sama juga dilakukan oleh Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Sekretariat Jenderal Kemenkumham, Bambang Wiyono.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, menyatakan bahwa kenaikan gaji pimpinan KPK di masa pandemi Covid-19 sama dengan bentuk pemborosan yang tidak perlu dilakukan. Apalagi pembahasan kenaikan gaji antara pimpinan KPK dan Kementerian Hukum dan HAM dilakukan secara tertutup dan memicu potensi konflik kepentingan. "Pada situasi seperti itu, pimpinan KPK tidak akan dapat menghitung dan memutuskan secara objektif berapa gaji yang mereka layak dapatkan," kata Kurnia.
Kurnia menyatakan bahwa Kementerian Hukum dan HAM membahas kenaikan gaji dengan pimpinan KPK secara intensif. Padahal sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri sempat mengusulkan agar wacana kenaikan gaji dibatalkan. Dia menduga, pembahasan kenaikan gaji terus berlanjut karena pimpinan KPK tidak tegas dalam mencegah terjadinya konflik kepentingan.
ICW menilai kenaikan gaji tak sepadan dengan kinerja KPK yang selama kepemimpinan Firli Bahuri minim prestasi. KPK justru kerap mempertontonkan serangkaian kontroversi penindakan kasus korupsi. Terutama kasus suap yang menyangkut politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Harun Masiku.
ICW juga menganggap kenaikan gaji KPK bertolak belakang dengan wacana pola hidup sederhana yang tercantum dalam nilai integritas yang dibuat KPK. Apalagi selama ini gaji pimpinan KPK sudah lebih dari cukup. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2015 tentang Hak Keuangan Pimpinan KPK menyebut bahwa gaji ketua KPK mencapai Rp 123 juta per bulan. Sedangkan gaji wakil ketua KPK mencapai Rp 112 juta. "Tentu menjadi tidak tepat jika pimpinan KPK terus mengemis untuk mendapatkan kenaikan gaji."
AVIT HIDAYAT | ROSSENO AJI