TEMPO.CO, Jakarta-Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia meminta pasal-pasal terkait pers dikeluarkan dari Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja. "Poin kami adalah terkait dengan pers agar didrop dari RUU Cipta Kerja," kata Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana seusai Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa, 9 Juni 2020.
IJTI menyorot Pasal 87 RUU Cipta Kerja yang mengatur perubahan Pasal 18 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menurut Yadi, perubahan ayat (3) dan tambahan ayat (4) Pasal 18 itu berbahaya karena membuka ruang intervensi pemerintah terhadap pers.
Dalam UU Pers Pasal 18 ayat (3), perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100 juta. Adapun di RUU Cipta Kerja disebutkan perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif.
Kemudian, ayat (4) dalam RUU Cipta Kerja menyebut bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
Padahal, kata Yadi, UU Pers jelas mengatur bahwa tidak ada peraturan turunan dari undang-undang tersebut. Peraturan mengenai pers dibuat oleh Dewan Pers dengan prinsip self-regulatory alias pers mengatur dirinya sendiri.
Yadi mengatakan IJTI sebenarnya tak masalah dengan ayat (1) dan (2) Pasal 18 RUU Cipta Kerja. "Kami setuju dengan ayat satu dan dua, alasan kenaikan nominal denda tidak masalah," kata Yadi.
Dalam RUU Cipta Kerja Pasal 18 ayat (1) disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (20 dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar. Besaran denda naik dari sebelumnya sebesar Rp 500 juta.
Adapun dalam ayat (3), perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 2 miliar. Angka denda juga naik dari yang diatur di UU Pers sebesar Rp 500 juta. "Peningkatan profesionalisme pers yang menjadi titik poin kami, bukan kepada nominal denda," kata Yadi.
IJTI juga setuju dengan perubahan Pasal 11 tentang pengembangan perusahaan pers. Dalam UU Pers, disebutkan bahwa penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Adapun dalam RUU Cipta Kerja, ketentuan itu diubah hingga berbunyi bahwa pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
"Pandangan kami dari IJTI, pertama setuju, namun dengan perubahan menjadi pengembangan usaha pers melalui penanaman modal dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal," kata Yadi.
Yadi beralasan, penanaman modal dalam usaha pers mengikuti peraturan perundang-undangan tentang penanaman modal. Selain itu, dia menyebut pemerintah bukan satu-satunya pihak yang berperan mengembangkan usaha pers. "Untuk menghindari pesan monopolistik dari pemerintah pusat dalam pengembangan usaha pers," ujar dia.
Jika permintaan mengeluarkan pasal-pasal terkait pers tak bisa dikabulkan, IJTI berharap setidaknya usulan-usulan ini diterima oleh Dewan.
BUDIARTI UTAMI PUTRI