TEMPO Interaktif, Jakarta: Pengamat Hukum Tata Negara Refli Harun mengusulkan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak mengisi Komisi Kajian Konstitusi karena dikhawatirkan rentan kepentingan politis dalam usul amendemen.
"Tim kajian harus lepas dari politis," kata Refli dalam diskusi "UUD 1945 Ditelaah atau Diubah" di gedung DPD Kompleks MPR/DPR, Jumat (12/9).
Menurutnya, kajian konstitusi itu harus dilakukan dengan pemikiran jernih. "Hal itu dengan melihat kelemahan konstitusi sekecil-kecilnya, bukan dengan menyesuaikan dengan kepentingan partai," kata dia.
Idealnya, kata Refli, Komisi Kajian Konstitusi itu diisi oleh akademisi dari bidang hukum, politik dan ekonomi. "Sehingga hasilnya lebih komprehensif."
Ketua Fraksi Partai Golkar MPR Hajriyanto Tohari mengatakan anggota MPR tidak bisa dilepaskan dari keanggotaan dalam Komisi Pengkaji Konstitusi. "Karena anggota MPR lebih efektif menyerap aspirasi masyarakat, bahkan kalangan yang tidak dijangkau media di pelosok," kata dia.
Dengan menjangkau usul seluruh kalangan, lanjut dia, kajian lebih kaya dengan perspektif yang lengkap. Namun, Hajriyanto tidak menutup kemungkinan masuknya akademisi dalam Komisi. "Semakin luas dimensi akan lebih representatif," katanya.
Jika hanya anggota MPR yang pernah terlibat dalam perubahan sebelumnya, kata dia, dikhawatirkan akan terjadi kejenuhan. "Jangan hanya monolitik," katanya.
Sementara Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud mengatakan anggota MPR wajib masuk dalam Komisi. "Jika tidak ada anggota Majelis proses perubahan itu hasilnya tidak berkesinambungan," katanya.
Dengan melibatkan anggota yang pernah masuk, kata dia, akan lebih memahami proses. "Kalau hanya perubahan, cukup dengan mencetak buku saja," katanya."Tentu dengan memberi kesempatan masukan dari masyarakat."
Eko Ari Wibowo