TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Moch. Nurhasim meminta pembuat undang-undang tak memberikan ruang atau tafsir bagi penyelenggara pemilu dalam RUU Pemilu.
“Sejauh mana isu-isu krusial yang dulu diperdebatkan harus masuk dalam substansi perbaikan undang-undang ini,” kata Hasim dalam telekonferensi, Ahad, 7 Juni 2020.
Hasim mengatakan, UU Pemilu sebelumnya memberikan tafsir kepada penyelenggara pemilu. Misalnya, di UU tersebut tidak mengatur larangan caleg eks narapidana korupsi.
Namun, KPU membuat PKPU yang melarang eks napi korupsi ikut pemilu. Sehingga, hal itu pun menjadi perdebatan di berbagai kalangan.
“Itu akibat adanya kekosongan hukum yang tidak dipahami, yang kemudian penyelenggara pemilu, khususnya KPU menafsirkan lebih,” ujar Hasim.
Selain larangan caleg eks napi korupsi, Hasim juga meminta agar isu terkait politik uang, politik transaksional, dan dinasti politik masuk dalam substansi RUU Pemilu.
Pada pileg 2019, KPU membuat PKPU yang melarang eks caleg napi koruptor ikut pemilu. PKPU tersebut digugat ke Mahkamah Agung (MA) karena dianggap bertentangan dengan peraturan di atasnya.
Kalah di MA, KPU kemudian memasukkan caleg eks koruptor yang sebelumnya dikategorikan Tak Memenuhi Syarat (TMS) ke dalam Daftar Calon Tetap.