TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Setara Institute, Halili Hasan, menyayangkan surat Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika yang meminta agar aplikasi Injil Bahasa Minangkabau dihapus dari Playstore. Sikap Irwan ini dianggap bisa menjadi preseden buruk.
"Sebab di kemudian hari kemungkinan akan digunakan oleh kelompok yang tidak menghargai kemajemukan untuk melakukan sama, yaitu menolak (resistance) dan menyangkal (denial) berbagai hal yang berkenaan dengan identitas agama yang berbeda," kata Halili dalam keterangan tertulis, Jumat, 5 Juni 2020.
Dalam suratnya kepada Menteri Komunikasi dan Informatika, Irwan meminta agar aplikasi tersebut dihapus berdasarkan dua klaim. Pertama masyarakat Minangkabau keberatan dan resah dengan adanya aplikasi tersebut. Kedua, aplikasi itu bertolak belakang dengan budaya masyarakat Minangkabau. Pada perkembangannya, dalam pantauan Setara Institute, kata Halili, aplikasi tersebut sudah di-take down dari Playstore Google.
Halili menjelaskan keberadaan Injil bahasa Minangkabau dan aplikasinya di Playstore tidak melanggar hukum dan konstitusi Republik Indonesia. Hal itu justru merupakan inisiatif baik untuk membangun literasi keagamaan lintas iman dalam kerangka kebhinnekaan Indonesia.
"Sehingga mestinya Menkominfo menolak permintaan Gubernur Irwan agar Dirjen Aplikasi Informatika menghapus aplikasi tersebut," ucap dia.
Halili berujar klaim Irwan mengenai dua alasan di balik permintaan penghapusan mengada-ada, berlebihan, dan tidak mewakili masyarakat dan budaya Minangkabau. Meskipun budaya Minang kuat dengan falsafah “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah’, tidak berarti bahwa Minangkabau adalah budaya yang tertutup.
Sebaliknya, ucap Halili, Minangkabau sebagai entitas kultural, dalam bentangan sejarahnya, sangat terbuka dan mudah berinteraksi dengan entitas kultural yang berbeda. "Keberadaan aplikasi Injil berbahasa Minangkabau tidak akan meruntuhkan kuatnya keislaman di tengah-tengah masyarakat Minang," katanya.