TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengemukakan alasan menggugat Presiden dan Menteri Komunikasi dan Informatika ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dallam hal pemblokiran internet. Gugatan itu dilayangkan AJI bersama Southest Asia Freddom of Expression Network (SAFEnet) pada November 2019 lalu.
Ketua Umum AJI Abdul Manan menilai, langkah pemerintah yang sudah dua kali, yakni pada Mei 2019 dan Agustus 2019, melakukan pelambatan dan pemblokiran internet, adalah tindakan yang tidak profesional.
"Mereka menjadikan pelambatan internet dan blokir sebagai alat untuk mengendalikan keadaan saat itu," ujar Manan melalui konferensi pers daring pada Kamis, 4 Juni 2020.
Padahal, banyak orang yang terkena dampak dari pelambatan internet. Manan mencontohkan, pada pelambatan internet di aksi ricuh Mei 2019 lalu, para jurnalis mengeluh kesulitan memberikan laporan peristiwa, atau bahkan mayarakat yang juga sulit menghubungi pihak keluarga atau teman.
Sementara itu, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Ika Ningtyas, menuturkan iakeberatan kepada pemerintah ketika pembatasan terjadi. Namun, SAFEnet tak mendapat respon baik. Pemerintah justru mengulang kebijakan tersebut saat merespons aksi unjuk rasa terkait kasus rasisme dan represi terhadap Papua.
"Akhirnya SAFEnet bersama AJI menempuh jalur hukum. Kami juga ingin menguji apakah pemerintah sudah melakukan prosedur yang benar? Apa dampaknya ketika kebijakan ini diambi?" kata Ika.
Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta memutuskan Pemerintah Indonesia bersalah dalam kasus pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat. Sidang putusan dipimpin oleh Hakim Ketua Nelvy Christin serta hakim anggota Baiq Yuliani SH dan Indah Mayasari.
"Mengabulkan gugatan para Penggugat. Menyatakan tindakan-tindakan pemerintah yang dinyatakan oleh Tergugat I dan II adalah perbuatan melanggar hukum," ujar Hakim Ketua Nelvy di PTUN Jakarta, pada 3 Juni 2020.