TEMPO.CO, Jakarta-Kendati partainya mendukung penuh rencana pemberlakuan kebijakan New Normal atau tananan kehidupan baru, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menyebut langkah pemerintah ini mencemaskan. Dia beralasan, secara epidemiologis Indonesia masih berada dalam zona merah pandemi Covid-19.
"Belum terlihat tanda-tanda 'kenormalan', yang terlihat justru ketidakjelasan seperti berjalan di tengah kegelapan," kata Fadli Zon dalam keterangan tertulis, Rabu, 3 Juni 2020.
Fadli pun menyebut ada tiga persoalan mengapa wacana dan kebijakan New Normal dianggapnya buruk. Berikut tiga persoalan tersebut.
1. Otorisasi dan pengambilan keputusan kacau
Fadli menilai ada kekacauan otorisasi dan pengambilan keputusan dalam kebijakan terkait Covid-19. Dia menjelaskan, pemerintah menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional yang kemudian diatasi dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020, kewenangan penetapan PSBB dipegang oleh Kementerian Kesehatan. Namun otorisasi new normal malah dipegang Gugus Tugas, bukan dikembalikan kepada Kementerian Kesehatan.
Padahal menurut Fadli, New Normal dalam praktiknya bisa disebut sebagai bentuk pelonggaran terhadap PSBB. "Ini membuat organisasi pengambilan keputusan jadi tak jelas," ujar dia.
Fadli juga menganggap kekacauan otorisasi itu sudah terlihat. Dari 102 wilayah yang diperbolehkan New Normal oleh Gugus Tugas, tak ada satu pun kota di Jawa yang masuk rekomendasi kecuali Tegal. Namun anehnya, kata Fadli, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengumumkan per 1 Juni lalu ada 15 daerah di Jawa Barat yang boleh menerapkan New Normal.
2. Data pemerintah menyesatkan
Fadli mengkritik pemerintah yang mengklaim angka reproduksi Covid-19 di Indonesia sudah berada di angka 1,09. Dalam standar WHO, angka ini bisa dianggap terkendali. Namun masalahnya, kata Fadli, angka yang digunakan pemerintah ini adalah angka yang ada di DKI Jakarta.
"Menggunakan tren perbaikan Ro dan Rt di DKI Jakarta sebagai dasar untuk menggaungkan kebijakan New Normal di level nasional jelas misleading," ucap dia.
Fadli juga menilai tren turunnya data Covid-19 di DKI tetap harus dilihat secara kritis. Berdasarkan data Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dalam dua pekan terakhir tingkat penularan Covid-19 di DKI Jakarta memang turun.
Pada 31 Mei lalu, angkanya berkisar antara 0,89 hingga 1,22. Meski begitu, Fadli mengatakan tren penurunan itu mestinya dihubungkan dengan dibukanya keran mudik alias pulang kampung menjelang lebaran.
Data Jasa Marga mencatat ada 465.582 kendaraan keluar dari Jakarta dalam rentang waktu H-7 hingga H-1 sebelum lebaran. Sedangkan Polda Metro Jaya menyebut hanya 25 ribu kendaraan yang berhasil dihalau untuk putar balik.
Kendati kasus di Jakarta menurun, malah terjadi peledakan jumlah penderita Covid-19 di Surabaya hingga kota tersebut kini memasuki zona merah. "Melandainya kurva DKI saat ini bisa jadi disebabkan karena angkanya kini terdistribusi ke daerah melalui peristiwa mudik atau pulang kampung tadi."
3. Basis data tak proporsional
Fadli mengatakan basis data pemerintah juga tak proporsional. Mengutip data Worldometer, Indonesia memiliki tingkat pengujian terburuk di antara negara-negara yang paling terpengaruh oleh Covid-19. Pemerintah sejauh ini hanya bisa melakukan 967 tes untuk setiap 1 juta penduduk.
Fadli membandingkan dengan Amerika Serikat yang melakukan 46.951 tes untuk setiap 1 juta penduduk, Singapura yang mencapai 57.249 per 1 juta penduduk, atau Malaysia yang berada di angka 16.083 per 1 juta penduduk.
WHO sendiri pun menganjurkan syarat minimal pemeriksaan Covid-19 adalah 1 orang per 1.000 penduduk per minggu. Dengan jumlah penduduk 273 juta, artinya per pekan seharusnya ada tes bagi 273 ribu penduduk. Dihitung sejak kasus pertama 2 Maret lalu, mestinya Indonesia sudah melakukan 3.276.000 tes.
Jika meniru pola Korea Selatan yang melakukan tes terhadap 0,6 persen penduduk, Indonesia seharusnya sudah melakukan tes terhadap 1.638.000 orang. Namun menurut data Gugus Tugas, lanjut Fadli Zon, hingga 2 Juni Indonesia baru 237.947 orang yang telah menjalani pemeriksaan Covid-19. "Jumlah yang sangat kecil dan tidak proporsional," ucap dia.