TEMPO.CO, Jakarta - Akademikus Fakultas Hukum Univeritas Airlangga Herlambang Perdana Wiratman mengkritik rancangan peraturan presiden soal pelibatan TNI dalam penanganan terorisme.
Herlambang mengatakan ada beberapa cacat prosedur dalam perpres tersebut. Misalnya, mekanisme akuntabilitas untuk tunduk dalam sistem peradilan umum yang membahayakan hak warga.
"Selain itu tumpang tindih fungsi dan tugas antara militer dengan kelembagaan negara lainnya seperti dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), aparat penegak hukum, dan Badan Intelijen Negara," kata Herlambang seperti dikutip dari Antara pada Senin, 1 Juni 2020.
Herlambang, mengatakan memberikan kewenangan yang berlebihan kepada TNI sebagaimana dimaksud dalam draf rancangan perpres tersebut akan membuka ruang dan potensi kerusakan kolateral (collateral damage) yang tinggi. Sehingga bisa menjadi ancaman serius bagi hak asasi manusia dan kehidupan demokrasi di Indonesia.
Herlambang melihat pengaturan kewenangan penangkalan terorisme dalam Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme dinilai terlalu luas.
"Kewenangan itu antara lain dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi, dan operasi lainnya yang terdapat dalam Pasal 3 draf Rancangan Perpres TNI," kata Herlambang.
Secara konseptual, kata Herlambang, istilah penangkalan tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Peraturan tersebut hanya mengenal istilah pencegahan, yang terdapat dalam Pasal 43 UU No. 5/2018, yakni sebagai tugas pemerintah yang kewenangannya diberikan kepada BNPT, bukan kepada TNI.
“Berbeda halnya dengan Rancangan Perpres (TNI) ini, TNI diberi kewenangan untuk dapat melakukan penangkalan,” kata Herlambang.
Sementara itu, Perpres TNI itu juga tidak memberi penjelasan lebih perinci terkait dengan “operasi lainnya” yang dimaksud dalam Pasal 3 tersebut. Dengan pasal itu, TNI dapat terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme secara lebih leluasa di dalam negeri sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia.