TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Media Siber Indonesia mengimbau masyarakat yang memiliki sengketa pemberitaan dengan media massa untuk menyelesaikannya melalui mekanisme UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Setiap pengaduan terhadap media bisa disampaikan pada redaksi untuk memperoleh hak jawab dan koreksi.
"Jika dinilai belum memuaskan, warga bisa mengadu ke Dewan Pers untuk dicarikan solusi melalui mediasi," Kata Ketua Umum AMSI Wenseslaus Manggut dalam keterangan tertulis, Kamis, 28 Mei 2020.
Pengurus Pusat AMSI mendesak pejabat pemerintah atau warga negara yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa untuk menggunakan mekanisme penyelesaian yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Caranya dengan mengirimkan permintaan hak jawab maupun koreksi ke media terkait. Jika tidak mendapat respon yang diharapkan, baru mengadukan masalahnya ke Dewan Pers.
AMSI juga mengkritik perisakan dan intimidasi siber, terutama praktek doxing atau membuka informasi pribadi, yang dilakukan para buzzer maupun warganet yang berpotensi merusak kebebasan pers dan demokrasi di negeri ini.
"Tanpa pers yang bebas dan jurnalisme yang berkualitas, informasi yang beredar di masyarakat akan mudah disetir oleh pihak-pihak tertentu dengan berbagai kepentingan politik maupun ekonomi," ujarnya.
Dia juga meminta aparat penegak hukum segera mengusut dugaan pelanggaran pidana berupa kekerasan siber maupun ancaman pembunuhan terhadap jurnalis, hingga pelakunya diadili di pengadilan.
Wenseslaus mengatakan AMSI perlu mengingatkan lagi pejabat publik dan masyarakat soal sengketa pers setelah muncul insiden intimidasi dan doxing terhadap wartawan Detikcom.
Kasus ini bermula ketika Detikcom menurunkan berita tentang rencana Presiden Joko Widodo membuka mal di Bekasi, Jawa Barat, di tengah pandemi Covid-19. Informasi itu berdasarkan pernyataan Kasubbag Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi.
Belakangan berita itu dikoreksi karena ada ralat dari Kabag Humas Pemkot Bekasi, yang menyebut bahwa Jokowi hanya meninjau sarana publik dalam rangka persiapan new normal setelah PSBB.
Setelah koreksi itu dipublikasikan, kekerasan terhadap jurnalis Detikcom mulai terjadi. Identitas pribadi jurnalis itu dibongkar dan dipublikasikan di media sosial, termasuk nomor telepon dan alamat rumahnya.
"Pers tentu tidak alpa dari kesalahan. UU Pers dibuat untuk memastikan koreksi bisa dilakukan, dengan tetap menjunjung perlindungan terhadap kebebasan pers. Kesalahan jurnalistik tidak boleh berujung pada kekerasan atau pemidanaan terhadap wartawan," kata dia.
Menurut dia, dengan kebebasan pers yang kokoh, publik diuntungkan oleh adanya mekanisme check and balances untuk memastikan akuntabilitas pemerintah melayani kepentingan warga. Menyerang pers dan mengintimidasi wartawan hanya akan mencederai ekosistem informasi yang kredibel dan bebas, serta merusak demokrasi.