TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak perlu melimpahkan kasus dugaan pemberian THR ke pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke polisi. Perkara ini menyeret rektor UNJ Komarudin.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan KPK tak bisa berdalih dengan menyebut tak ada unsur penyelenggara negara dalam perkara ini.
Ia mengatakan Pasal 2 angka 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menjelaskan bahwa Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
"Tentu dikaitkan dengan Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 maka KPK berwenang untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara," ujar Kurnia, Jumat, 22 Mei 2020.
Terlebih lagi, kata dia, Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 secara tegas mengatakan bahwa penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan orang lain secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau membayar dapat dijerat dengan maksimal hukuman 20 tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar.
"Kasus dengan model pemerasan seperti ini bukan kali pertama ditangani oleh KPK. Pada 2013 yang lalu, lembaga antirasuah ini pun pernah menjerat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Dirjen Pajak Pargono Riyadi. Saat itu ia diduga melakukan pemerasan terhadap wajib pajak, Asep Hendro, sebesar Rp125 juta," katanya.
Kedua, kata dia, dugaan tindak pidana suap yang diduga dilakukan oleh Rektor UNJ. "Tentu dugaan ini akan semakin terang benderang ketika KPK dapat membongkar latar belakang pemberian uang kepada pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Apakah hanya sekadar pemberian THR atau lebih dari itu," kata Kurnia.
Dalam rilisnya, KPK menyebut rektor UNJ diduga mengumpulkan dekan dan pimpinan lembaga di kampus itu untuk mencari uang THR yang akan diberikan kepada pejabat di Kemendikbud.