TEMPO.CO, Yogyakarta -Di beranda pesantren beralas tikar di bilangan Kotagede, Yogyakarta, satu per satu transpuan datang saling menyapa.
Manohara membawa kelapa muda. Erna dan Rere memasak nasi dan sayur di dapur. Ada juga transpuan yang membawa tempe, tahu goreng dan kerupuk.
Para transpuan di Pesantren Waria Al-Fatah Kotagede, Yogyakarta itu sedang berkumpul untuk persiapan berbuka Puasa Ramadan. Setelah semua bahan masakan matang, mereka menatanya di tikar beranda. Tersaji sate ayam, oseng brutu, es campur, dan teh hangat.
Azan magrib berkumandang, mereka duduk lesehan dan menyantap makanan beriring doa. Sembari berbuka, para transpuan malam itu punya kegiatan menggalang solidaritas bersama. Mereka berbagi sembilan bahan pokok dan bingkisan menyambut lebaran. Ada makanan ringan, sirup, sembilan bahan pokok, dan masker.
Semenjak pandemi Corona, para waria kehilangan mata pencaharian. Mereka sebagian besar bekerja sebagai pengamen, pekerja salon, dan pekerja seks. Sejak kasus positif Covid-19 terus bertambah, polisi berpatroli di jalan dan para waria khawatir ditangkap.
Di tengah kesulitan bertahan hidup itu tiga komunitas transpuan di Yogyakarta bahu membahu saling membantu. Ketiganya Pesantren Waria Al Fatah, Ikatan Waria Yogyakarta, dan Keluarga Besar Waria Yogyakarta. Ketiganya berupaya menggalang bantuan dari banyak donatur.
“Donasi sedikit meringankan. Tapi, teman-teman tetap bekerja sekuatnya,” kata pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah, Shinta Ratri, Selasa, 19 Mei 2020.
Di Yogyakarta terdapat setidaknya 360 transpuan yang berhimpun dengan Ikatan Waria Yogyakarta.
Jumlah tersebut belum termasuk waria yang tidak tercatat. Sejumlah transpuan masih belum berani mengungkapkan identitas mereka di tengah stigma dan diskriminasi. Mereka tak tersentuh bantuan dari pemerintah karena sebagian besar tak memiliki kartu tanda penduduk atau KTP hanya karena identitas gender.
Para transpuan juga tidak bisa pulang ke kampung halamannya. Sebagian keluarga mereka menolak karena identitasnya. Di Yogyakarta, sebagian dari mereka tinggal di kos dan di pesantren waria.
Demi bertahan hidup, para waria banting setir dari mengamen menjadi penjual tempe dan tahu goreng kemudian menyetornya ke angkringan. Ada juga yang menjual makanan, misalnya kue untuk lebaran secara online dan kain. Manohara, anggota Ikatan Waria Yogyakarta misalnya menjual kelapa muda dan kue secara online. Dia menawarkan dagangannya melalui grup WhatsApp. “Bagaimanapun caranya agar bisa bertahan hidup,” kata Manohara.
Anggota komunitas waria di Yogyakarta bersolidaritas mendistribusikan sembilan bahan pokok dan makanan untuk para waria di tengah pandemi Covid-19 (TEMPO/Shinta Maharani)
Ketua Ikatan Waria Yogyakarta, Ayu Kusuma mengatakan, selain membagikan bingkisan lebaran dan sembako, komunitasnya juga menyalurkan subsidi uang kos untuk para transpuan di Yogyakarta yang terimbas pagebluk.
Uang kos itu berasal dari donasi yang dihimpun oleh transpuan, Tamarra. Donasi itu menurut Ayu berasal dari berbagai lembaga, organisasi masyarakat, dan perorangan. Mereka datang dari berbagai daerah, di antaranya Jakarta dan Yogyakarta.
Distribusi sembako menurut Ayu telah berlangsung selama beberapa kali sejak pandemi menyerang.
Sejak awal puasa, mereka membagikan sembako dan makanan ke kantong komunitas waria yang tersebar di antaranya di Badran, Jalan Gowongan, dan Jalan Solo. “Kami terus mendistribusikan ke komunitas,” kata Ayu.
Komunitas transpuan di Yogyakarta tidak berjuang sendiri. Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta aktif mendampingi mereka, termasuk menyalurkan bantuan. Mereka membuka posko menampung pengaduan hak kesehatan dan hak atas pekerjaan sejak 22 April lalu.
Direktur LBH Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli mengatakan pandemi covid-19 menjadi wabah serius yang menyerang kesehatan, mental, sosial hinga ekonomi rakyat. Dalam situasi seperti sekarang, masyarakat miskin, marjinal dan rentan, termasuk kelompok waria paling merasakan dampaknya secara ekonomi.
Ketiadaan KTP seharusnya bukan menjadi alasan bagi pemerintah untuk tidak memberikan bantuan sosial maupun hak lainnya sebagai warga negara.
Menurut Yogi, parameter pemenuhan hak asasi manusia bukan terletak pada hal-hal yang sifatnya administratif formalistik seperti KTP, tapi pada hal yang esensial yaitu posisi mereka sebagai manusia yang harus diperlakukan adil dan sama seperti warga yang lain. “Pemerintah seharusnya tak lepas tangan,” kata Yogi.
Secara konstitusi, kata Yogi, pasal 28 H ayat 2 UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Kemudahan itu salah satunya adalah jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan diri secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (pasal 28 H ayat 3 UUD 1945).