TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Eddy OS Hiariej, meminta Komisi Pemerintahan DPR RI tidak buru-buru membahas surat presiden atas pemberhentian Evi Novida Ginting sebagai komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia menyarankan DPR menunggu putusan PTUN Jakarta atas gugatan yang Evi layangkan.
Eddy menjelaskan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) Nomor 317 tahun 2020 yang memberhentikan Evi cacat prosedur. Alasannya kasus yang menyeret Evi bukan perkara etik, melainkan perbedaan penafsiran putusan Mahkamah Konstitusi terkait hasil sengketa pemilu. "Putusan DKPP ini sesat, kalau tidak mau dibilang abuse of power," kata Eddy dalam diskusi daring, Senin, 18 Mei 2020.
Selain itu, kata Eddy, keputusan DKPP invalid karena dalam sidang perdana, pengadu mencabut laporannya terhadap Evi. "Artinya sudah tidak ada lagi kerugian dialami yang bersangkutan," ucap dia.
Namun, kata Eddy, Presiden Joko Widodo atau Jokowi sejatinya tidak salah karena menerbitkan surat pemberhentian Evi. Berdasarkan undang-undang, presiden wajib menindaklanjuti putusan DKPP yang final dan mengikat itu.
Sebelumnya, Evi menggugat Presiden Jokowi atas Keputusan Presiden Nomor 34/P Tahun 2020 yang memberhentikannya secara tidak hormat sebagai Komisioner KPU per 23 Maret 2020.
"Saya selaku penggugat dan tergugatnya Presiden Republik Indonesia. Gugatan saya tercatat Nomor 82/G/2020/PTUN.JKT," kata Evi melalui keterangan tertulis seperti yang dikutip Tempo pada Senin, 20 April 2020.
Evi meminta PTUN mengabulkan gugatannya dengan membatalkan keputusan presiden itu. Ia juga meminta presiden merehabilitasi nama baiknya serta memulihkan kedudukannya sebagai anggota KPU masa jabatan 2017-2022.
Dalam gugatannya, Evi menyatakan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 317/2019, cacat hukum. Putusan DKPP inilah yang menjadi dasar Presiden Jokowi memecat Evi.