TEMPO.CO, Jakarta - LSI Denny JA menilai Indonesia telah memenuhi syarat untuk membuka kembali aktivitas warga dan ekonomi.
Peneliti LSI Denny JA, Ikram Masloman beralasan, data nasional menunjukkan tren statis penambahan kasus Covid-19 bahkan menurun di beberapa daerah.
"Dampak lockdown, ekonomi bisa ambyar. Ini (pelonggaran) bukan inisiatif Indonesia tapi dicetuskan banyak negara agar ekonomi tetap berjalan," kata Ikram dalam konferensi pers, Sabtu, 16 Mei 2020.
Ikram mengatakan, negara-negara dengan fiskal kuat seperti Korea Selatan dan Selandia Baru pun mulai mengendurkan lockdown. Dia pun menyebut pelonggaran pembatasan ini penting untuk mencegah terjadinya kisruh akibat masalah ekonomi, misalnya yang timbul dari banyaknya pengangguran.
Ikram mengatakan, ada tiga alasan mengapa Indonesia perlu kembali membuka aktivitas ekonomi dan warga. Pertama, dia mencontohkan negara-negara yang secara bertahap membuka lockdown. Di antaranya Austria, Italia, Singapura, Jerman, dan lainnya.
Kedua, dia mengatakan penemuan vaksin memerlukan waktu paling cepat 12 bulan. Artinya, vaksin untuk Covid-19 paling cepat baru akan tersedia pada Februari-Juni 2021. Meski begitu, kata dia, masih perlu proses lama lagi untuk memproduksi vaksin dalam jumlah massal untuk masyarakat dunia.
Alasan ketiga, Ikram mengatakan perlu keseimbangan kesehatan tubuh dan kesehatan ekonomi. Ia menyinggung soal proyeksi pertumbuhan ekonomi yang merosot ke angka 2 hingga minus 9 persen. Dampaknya antara lain pemutusan hubungan kerja (PHK), inflasi, dan melemahnya daya beli masyarakat.
Ikram merujuk data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang menyebut hingga awal Mei terdapat 7 juta PHK di seluruh Indonesia. Apindo juga menyatakan ada 30 juta pekerja lainnya yang terancam PHK.
"Kalau fokus pada pandemi saja, tanpa memikirkan ekonomi domestik warga, saya pikir ini akan berefek pada the hungry man becomes the angry man, chaos, tidak ada legitimasi pemerintah, dan memperparah kondisi," ujar dia.
Ikram pun menyampaikan lima kisi-kisi untuk pemerintah kembali membuka aktivitas ekonomi. Pertama, aktivitas ekonomi dimulai dari daerah yang grafik kasus Covid-19 menurun. Ada lima daerah yang dia maksud, yakni DKI Jakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bogor, dan Provinsi Bali.
Kedua, masyarakat dengan usia rentan, yakni di atas 45 tahun, tetap bekerja di rumah. Sedangkan masyarakat dengan usia 45 tahun ke bawah bekerja di kantor atau luar rumah. Data menunjukkan angka kematian paling besar ada di kelompok usia 45 tahun ke atas.
Ketiga, orang-orang dengan penyakit penyerta juga tetap bekerja di rumah. Penyakit penyerta alias komorbid yang berbahaya jika terinfeksi Covid-19 adalah hipertensi, diabetes, paru obstruktif kronis, dan penyakit pernapasan.
Keempat, masyarakat perlu membiasakan gaya hidup 'new normal' dengan aturan kesehatan yang ketat. Ikram mengatakan masyarakat harus membiasakan diri 'hidup bersama virus' hingga vaksin ditemukan nantinya.
Dalam menjalani new normal ini masyarakat harus tetap memberlakukan social distancing, menggunakan masker di fasilitas umum, dan menggunakan teknologi komunikasi untuk rapat, pertemuan, dan lainnya.
Kelima, semua pihak harus terlibat edukasi dan pengawasan protokol kesehatan. Mulai dari pemerintah daerah, dunia usaha, tokoh agama, dan lainnya. Ikram mengatakan tak boleh lagi ada yang saling mendelegitimasi.
"Antara pemda, (pemerintah) pusat, masyarakat juga harus senada dalam memerangi Covid-19 dan tentunya tidak mempolitisir Covid-19 ini untuk kepentingan karena ini murni adalah problem kemanusiaan," ujar dia.
Ikram mengatakan rekomendasi ini berangkat dari riset yang dilakukan lembaganya dengan sumber data sekunder. Data yang digunakan berasal dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (data harian 18 wilayah PSBB dari awal Maret-13 Mei 2020), Worldometer, dan WHO.