TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah organisasi nirlaba yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Bersihkan Indonesia mempertimbangkan mengajukan uji materi Undang-undang atau UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi.
“Kami masih menimbang. UU ini mencerminkan perilaku negara tidak peduli hukum sama sekali,” kata Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi, Wahyu Perdana, Kamis, 14 Mei 2020.
Sebelumnya, peneliti Auriga Nusantara, Iqbal Damanik, mengatakan pengesahan RUU Minerba oleh DPR menambah panjang ketergantungan ekonomi Indonesia pada komoditas sumber daya alam.
Menurut dia, pengesahan itu memperlihatkan cara pandang yang eksploitatif. Salah satunya adalah dengan penambahan pasal 169 A yang menyebutkan kontrak atau perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK selama 10 tahun.
“Fokus Pemerintah pada penyelamatan pebisnis batubara ini, sangat disayangkan melalui perubahan undang-undang. Pemerintah harusnya memaksa para pemegang kontrak atau perjanjian ini untuk menyelesaikan terlebih dahulu kewajibannya tidak serta merta menjamin perpanjangan," kata Iqbal.
Sementara itu, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah mengatakan UU Minerba tidak berangkat dari masalah yang lahir dan dihadapi rakyat, buruh, dan lingkungan hidup di lapangan.
Pengesahan UU tersebut dilakukan tanpa evaluasi atas kondisi krisis yang dihadapi. Ia menyebut pembahasan revisi aturan soal mineral dan batu bara ini titipan oligarki batu bara kepada politikus Senayan.
“RUU ini justru memberikan hak veto kepada pengusaha pertambangan dan batu bara, sementara partisipasi rakyat korban pertambangan, masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya seperti perempuan ditinggalkan, tidak dilibatkan dan tidak diakomodasi suaranya,” katanya.