TEMPO.CO, Jember - Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Jember Achmad Subagio tak pernah membayangkan tertahan dan tinggal lebih lama di negara nun jauh di Benua Afrika, Nigeria di masa wabah. Sudah hampir tiga bulan, guru besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember itu terjebak kebijakan karantina wilayah atau lockdown berada di kota Benin, sekitar 200 mil di timur kota Lagos, bekas ibukota Nigeria sebelum pindah ke ibukota baru, Abuja.
Pakar tepung Mocaf itu berangkat ke Nigeria pada 15 Maret 2020 untuk memberikan konsultasi tentang teknologi pangan. Pemerintah Nigeria menerapkan lockdown di kota-kota besar sejak 21 Maret 2020. Kebijakan itu otomatis menghentikan penerbangan internasional, Bagio tertahan di Nigeria hingga sekarang.
"Ada fasilitas dari perusahaan yang melayani kebutuhan sehari-sehari selama tinggal di Kota Benin, seperti penginapan, transportasi, pengawalan, makanan dan lainnya," kata Bagio melalui pesan teks.
Muslim di Kota Benin cukup banyak, meskipun tidak mayoritas. Saat ini masyarakat dilarang ke masjid karena pandemi COVID-19, sehingga masyarakat beribadah di rumah saja.
Selama bulan Ramadhan, Bagio bersama dua orang Indonesia yang lain yang bekerja di sana dan rekannya orang India setiap hari berbuka, sahur dan salat bersama-sama dengan masakan yang dimasak oleh juru masak Nigeria dan orang India yang memang hobi memasak.
Meski tertahan di Benin, namun Bagio mengaku menikmati pengalaman yang berbeda Ramadhan tahun ini karena bisa merasakan buka puasa ala Tamil India. Diawali dengan makan sup atau bubur yang rasanya pedas dan berminyak, bukan seperti menu takjil orang Indonesia yang mengawali buka puasa dengan makanan yang manis-manis, namun kurma juga tersedia saat buka puasa.
Bagio mengatakan mungkin hanya dirinya yang terjebak di Nigeria dan yang ingin pulang dengan mendaftar untuk ikut program repatriasi mandiri 16 orang. Informasinya ada 200 lebih orang Indonesia yang terdaftar di Nigeria, namun yang bekerja di perusahaan multinasional yang ekspatriat dari Indonesia 22 orang.
Perusahaan yang mengundangnya sudah berusaha memulangkan ke Indonesia, namun tidak ada maskapai penerbangan yang melayani penerbangan dari Nigeria ke negara lain hingga kini. Ada upaya patungan mencarter pesawat secara bersama-sama agar para ekspatriat di Nigeria bisa pulang ke negara masing-masing, namun tidak semua ekspatriat bisa membeli tiket mengingat harganyanya melambung tinggi. Satu orang dikenai tarif sebesar Rp80 juta.
Harga tiket itu menjadi mahal karena satu pesawat hanya boleh diisi separuh dari kapasitas kursi untuk menerapkan ketentuan jarak fisik. “Semoga ada kepastian kepulangan agar saya bisa berlebaran di Tanah Air," ujar Bagio.
Bagio berusaha ikut program repatriasi dari KBRI Afrika di Nigeria. “Namun belum ada kejelasan sampai saat ini kapan bisa pulang ke Indonesia/"
Guru besar teknologi hasil pertanian itu sangat rindu keluarga, apalagi di suasana Ramadhan seperti saat ini, kondisi Benin, kota penghasil produk pertanian di Nigeria dengan hamparan kebun dan lahan pertanian yang luas kurang kondusif. Di kota itu, bentrok kerap terjadi Antara pemilik lahan pertanian dengan suku nomaden penggembala ternak.
Bentrokan sampai mengakibatkan korban jiwa. Polisi turun tangan hingga menembak suku nomaden itu hingga tewas. Karena situasi tak aman, saban Bagio ke kebun selalu dikawal oleh polisi.
Selain kota yang tak aman, Bagio juga khawatir pandemi COVID-19 yang kini korbannya menunjukkan tren meningkat di negara-negara Afrika, termasuk Nigeria. Meski pemerintah memberlakukan kebijakan lockdown, tapi pengetahuan warga setempat akan pencegahan virus Corona dan kesadaran akan gaya hidup bersih, masih rendah. Fasilitas kesehatan pun terbatas, dan sanitasinya buruk.