TEMPO.CO, Jakarta - Komnas Perempuan mencatat sejumlah hambatan dalam penanganan kasus kekerasan seksual, terutama bagi korban dalam mendapatkan keadilan pasca kerusuhan Mei 1998. Dalam catatan Komnas Perempuan, di antara pelaku kekerasan seksual adalah oknum aparat hukum dan pejabat publik.
Temuan Komnas Perempuan sepanjang tahun 2018 hingga Januari 2020, ada 115 kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh pejabat publik. Laporan terbanyak adalah aparatur sipil negara 26 kasus, polisi 20 kasus, guru 16 kasus dan aparat militer 12 kasus. Sedangkan dari tahun 2011 hingga 2019, Komnas Perempuan mencatat ada 46.698 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal maupun publik terhadap perempuan. Sebanyak 23.021 kasus terjadi di ranah publik, berupa perkosaan sebanyak 9.039 kasus, pelecehan seksual 2.861 kasus, cyber crime bernuansa seksual 91 kasus.
Hambatan pertama dalam penanganan kasus kekerasan seksual adalah belum adanya beleid yang memuat bentuk-bentuk kekerasan seksual, seperti penyiksaan seksual, perbuatan yang merendahkan martabat manusia, ingkar janji perkawinan, pelecehan seksual hingga eksploitasi seksual dalam berbagai rupanya selain terkait dengan perdagangan orang.
"Akibatnya korban tidak dapat memperoleh keadilan karena tidak ada pengaturan yang menjadikannya sebagai tindak pidana," bunyi lembar fakta Komnas Perempuan yang diterima Tempo, Kamis 14 Mei 2020.
Komnas Perempuan menyatakan sistem pembuktian dalam KUHAP masih membebani korban, karena penyidik kerap memahami bahwa dalam kasus kekerasan seksual harus ada saksi yang melihat langsung kejadian. Hal ini kemudian menjadi beban dalam pembuktian oleh korban, termasuk juga menyediakan visum, bahkan sperma pelaku sebagai barang bukti. Menurut Komnas Perempuan, dengan alasan tidak cukup bukti, Kepolisian mendorong melakukan mediasi dengan pelaku dan tidak melakukan penahanan atau dihentikan penyidikannya (SP3).
Seperti kasus perkosaan yang diduga dilakukan oleh dokter AG, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua dan Direktur RSUD Jayapura terhadap seorang anak. Dalam surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) disebutkan sudah dilakukan pemeriksaan saksi-saksi dan permintaan keterangan ahli, namun dinyatakan tidak cukup bukti sehingga dihentikan. Tetapi dalam kasus tersebut tidak ada keterangan terkait visum et repertum dan visum psikiantrikum telah dilakukan atau belum.
Komnas Perempuan menyebutkan hambatan penanganan kasus kekerasan seksual juga terlihat dengan masih adanya pelanggaran hak prosedural korban, karena KUHAP dan Peraturan Kapolri nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana lebih berorientasi kepada tersangka atau terdakwa. Hal ini menyebabkan hak-hak prosedural korban kerap diabaikan. Seperti tidak adanya akses informasi, akses yang tidak setara kepada penasehat hukum atau pendamping mengkonfrontasi korban dengan tersangka, serta penundaan berlarut.
Hambatan selanjutnya adalah adanya keharusan persetujuan tertulis dari Presiden dalam rangka penyidikan dan penahanan yang diatur dalam Pasal 36 UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam hal tersangka adalah kepala daerah atau wakil kepala daerah. Menurut Komnas Perempuan ketentuan ini menjadi impunitas bagi tersangka untuk tidak menjalani proses hukum.