Menurut Isnur, keberadaan pasal tersebut menunjukan ada konflik kepentingan dalam pembuatan Perpu. Ia menilai pemerintah seolah memagari diri sendiri agar tak bisa dipidana bila kelak terjadi penyelewengan dalam pelaksanaan Perpu itu. “Dalam konteks tata tertib, UU itu sangat diskriminatif. Sangat bertentangan dengan prinsip kepastian hukum,” ujar Isnur.
Peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana juga mengkritik Pasal 27 yang juga menyebutkan bahwa biaya yang telah dikeluarkan pemerintah atau KSSK dalam pelaksanaan kebijakan pendapatan negara tidak dapat dihitung sebagai kerugian negara. Sebab, anggaran yang dikeluarkan merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelematan perekonomian dari krisis.
Ia menilai keberadaan pasal itu akan mempersulit aparat hukum mengusut bila terjadi penyelewangan. “ICW jelas menolak konsep absolut pemerintah ketika menyebutkan KSSK tidak bisa dipidana dan juga penanganan Corona ketika ditemukan potensi korupsi tidak bisa dikategorikan dengan kerugian negara,” ujar dia.
-Peluru hampa anggota DPR
Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny Kabur Harman menilai pembuatan Perpu mengenai APBN tak diperbolehkan konstitusi. Menurut Benny, penerbitan Perpu itu menunjukan ketertiban hukum sudah tidak ada. “Negara masih eksis, tapi tertib hukumnya runtuh dan kalau runtuh maka jadilah negara berdasarkan fasisme,” kata dia 28 April 2020.
Politikus PDIP Masinton Pasaribu awalnya juga mengkritik penerbitan Perpu Covid-19. Pada 18 April 2020, ia menilai tidak ada kekosongan hukum yang menjadi syarat penerbitan perpu. Selain itu, ia menilai ada penumpang gelap yang memanfaatkan Covid-19 untuk kepentingannya.
Politikus PKS, Nasir Djamil menyebut Perpu Covid-19 sudah didomplengi kepentingan pihak yang ingin cari untung di tengah wabah. Salah satu yang ia sorot mengenai penunjukan langsung dalam proyek pemerintah tanpa tender.
ROSSENO AJI| BUDIARTI UTAMI PUTRI | DIKO OKTARA