TEMPO.CO, Jakarta - Tim advokasi Novel Baswedan mengatakan ada sembilan kejanggalan dalam proses persidangan perkara penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu. Mereka menilai proses persidangan jauh dari harapan publik yang ingin menggali fakta-fakta sebenarnya perkara itu.
Novel Baswedan disiram dengan air keras pada 11 April 2017 di dekat rumahnya setelah menunaikan salat subuh di masjid. Polisi menetapkan dua personel polisi aktif sebagai tersangka. Mereka adalah Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette. Menurut mereka, penyiraman itu dilakukan karena marah terhadap Novel Baswedan yang dianggap sebagai pengkhianat.
Anggota tim advokasi, Arif Maulana memaparkan sembilan kejanggalan dalam perkara itu dalam keterangan tertulis, Ahad, 10 Mei 2020:
1.Dakwaan jaksa menilai kasus ini hanya penganiayaan biasa, tak terkait penanganan korupsi.
Padahal, kata Arif, Tim Pencari Fakta bentukan Polri menemukan bahwa motif penyerangan ini berkaitan dengan kasus-kasus korupsi besar yang di tangani Novel. "Patut diduga jaksa sebagai pengendali penyidikan satu skenario dengan kepolisian mengusut kasus hanya sampai pelaku lapangan."
2.Jaksa mendakwa dua terdakwa pelaku penyiraman dengan pasal penganiyaan biasa.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa air yang digunakan untuk menyiram wajah Novel berasal dari aki. "Pernyataan sesat, sebab sudah terang benderang bahwa cairan itu air keras yang telah menyebabkan NB kehilangan penglihatan," ujar Arif.
3.Majelis hakim terlihat pasif dan tidak objektif mencari kebenaran materiil.
“Hakim tidak menggali rangkaian peristiwa secara utuh.” Khususnya fakta-fakta sebelum penyerangan terjadi untuk membuktikan bahwa serangan itu sistematis, terorganisir, dan tidak hanya melibatkan pelaku di lapangan. Hakim dinilai tidak menggali informasi lebih jauh terkait informasi saksi yang telah disebutkan perihal nama dan peristiwa yang berkaitan dengan penyerangan.
"Hakim harus aktif dan berani untuk menemukan kebenaran di tengah keraguan publik dan juga korban, bahwa dua terdakwa itu aktor yang menyiram wajah Novel."
4. Penasehat hukum Polri mendampingi pelaku kejahatan.
Meski dua terdakwa itu merupakan anggota Polri aktif, namun kejahatan yang disangkakan sejatinya mencoreng institusi kepolisian. "Terdapat konflik kepentingan yang nyata yang akan menutup peluang membongkar kasus ini secara terang benderang dan menangkap pelaku sebenarnya, bukan hanya pelaku lapangan namun juga otak pelaku kejahatan."
5.Ada dugaan manipulasi barang bukti di persidangan.
Anggota tim advokasi lainnya, Kurnia Ramadhana, mengatakan ada rekaman cctv yang dianggap penting dihiraukan oleh penyidik hingga dugaan intimidasi terhadap saksi-saksi penting. Polisi tidak mampu mengidentifikasi sidik jari pada gelas dan botol yang dijadikan alat untuk menyiram.
Begitu pula dengan barang bukti baju muslim yang dikenakan Novel Baswedan saat kejadian. "Baju yang pada saat kejadian utuh, dalam persidangan ditunjukkan hakim dalam kondisi terpotong sebagian dibagian depan. Diduga bagian yang hilang terdapat bekas dampak air keras," kata Kurnia.
6.Jaksa justru menyatakan dalam dakwaan bahwa air yang mengakibatkan kebutaan Novel Baswedan bukan air keras.
Bahkan dalam persidangan, penasehat hukum terdakwa sempat menanyakan terkait benar atau tidak kebutaan yang dialami oleh Novel. "Ini tentu upaya pengaburan fakta," ucap Kurnia.
Kurnia juga mempermasalahkan persidangan yang mengangkat kembali kasus pencurian sarang burung wallet di Bengkulu yang dinilai sebagai upaya kriminalisasi pada Novel. Ia mengatakan isu ini tidak relevan dan terlihat hanya ingin mengalihkan perhatian untuk mengaburkan fakta penyerangan terhadap Novel.
8.Diduga hilangnya berkas BAP dari saksi kunci penyerangan Novel yang telah memberikan keterangan kepada Kepolisian, Komnas HAM dan TGPF bentukan Polri.
Saksi-saksi penting dan relevan dari pihak korban tidak dihadirkan jaksa.
9.Pemeriksaan saksi korban di pengadilan pada 30 April 2020, ruangan di penuhi aparat kepolisian dan orang-orang yang nampak dikoordinasikan untuk menguasai ruang persidangan.
Bangku pengunjung sidang Novel Baswedan yang mestinya dapat digunakan secara bergantian oleh seluruh pengunjung, ‘dikuasai’ orang-orang tertentu sehingga publik maupun kuasa hukum dan media yang meliput tidak dapat menggunakan fasilitas bangku pengunjung untuk memantau proses persidangan.