TEMPO.CO, Jakarta - Margono-Surya & Partners, pelapor kasus dugaan eksploitasi anak buah kapal atau ABK Indonesia di Kapal Cina Long Xing 629, menduga asuransi kecelakaan kerja sebesar Rp 200 juta tak diberikan kepada tiga ABK yang mati.
"Perusahaan asuransi tak memberikan karena kematian almarhum kemungkinan dianggap bukan karena kecelakaan kerja," ujar David Surya, anggota tim Margono-Surya & Partners, pada saat dihubungi hari ini, Ahad, 10 Mei 2020.
David enggan menanggapi uang santunan Rp 50 juta yang dikabarkan diterima 2 dari 3 keluarga ABK WNI di Kapal Long Xing 629 yang meninggal. Tapi, dia mempertanyakan tujuan pemberian uang santunan tersebut.
"Motivasi pemberian tersebut apa? Apakah pemberian uang santunan kedukaan tersebut tidak akan digunakan sebagai alasan pembenar di hadapan hukum?"
Menurut David, para agen ABK Indonesia di kapal Cina melanggar banyak hak pekerja yang seharusnya tertulis dalam perjanjian laut.
Aturan upah juga dilanggar. David mengatakan para ABK tadi dijanjikan menerima gaji sekitar US$300 atau setara Rp 4,5 juta per bulan.
Berdasarkan perjanjian Long Xing 629 dengan salah satu korban, yakni Effendi Pasaribu, gaji per bulan US$50 yang diberikan jika kapal itu sudah bersandar.
Kemudian US$100 dititipkan ke Kapten Kapal Long Xing 629 dan US$150 akan dikirimkan kepada keluarga di Indonesia.
Hingga saat ini keluarga para ABk Indonesia tersebut tidak ada yang menerima uang gaji.
David menerangkan bahwa faktanya gaji yang diterima oleh para ABK hanya US$ 50 atau Rp 750 ribu per bulan.
Itu karena korban harus mengeluarkan uang deposit US$800 selama bekerja, sanksi US$1.600 jika mendadak berhenti kerja, dan US$5.000 jika korban pindah ke kapal lain.
"Ini jelas-jelas perbudakan namanya," kata David.
David juga menjelaskan bahwa ABK Indonesia yang bekerja di kapal Long Xing 629 diwajibkan bekerja dengan berdiri selama 18 jam per hari. Waktu istirahat per hari hanya 6 jam, untuk mandi, makan, dan duduk di kapal.
"Jika ABK asal Indonesia ini mau minum, mereka juga harus minum air dari sulingan air laut. Jelas itu tidak sehat dan mengundang penyakit," tutur David.