TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU), Iqbal Elyazar, mengatakan sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan, Indonesia belum menampilkan kurva epidemi yang sesuai dengan standar ilmu epidemiologi. "Karena itu, adanya klaim terjadinya penurunan kasus baru Covid-19 cukup meragukan," katanya lewat pesan singkat, Jumat, 8 Mei 2020.
Iqbal menjelaskan kurva epidemiologis merupakan alat visualisasi standar dan paling populer untuk menjelaskan situasi perlambatan ini. Kurva ini biasanya digunakan untuk menjelaskan perjalanan pandemi, menentukan sumber dan kapan terjadinya penularan, menentukan puncak pandemi, memperkirakan akhir pandemi, serta mengevaluasi efektivitas tindakan pengendalian.
Melansir tulisannya di Theconversation.com, Iqbal menjelaskan cara membuat kurva epidemi Covid-19. Menurut dia, sumbu Y (vertikal) menunjukkan jumlah kasus baru, sedangkan sumbu X (horizontal) mengindikasikan patokan waktu analisis yang terkait dengan jumlah kasus baru, misalnya patokan tanggal orang terinfeksi, tanggal orang mulai bergejala, dan tanggal orang diperiksa.
Jika 100 persen orang terinfeksi di suatu hari lalu diperiksa semua dan hasilnya diketahui di hari yang sama, maka jumlah kasus pada hari itu dibandingkan hari sebelumnya menggambarkan laju infeksi harian yang sesungguhnya. "Jika laju infeksi harian senilai 0,5, itu artinya ada pertambahan kasus baru sebanyak 50 persen setiap hari," kata Iqbal.
Namun hingga 8 Mei 2020, pemerintah Indonesia hanya menampilkan kurva harian kasus Covid-19. Sumbu Y di kurva versi pemerintah menjelaskan tentang jumlah kasus konfirmasi tambahan, sedangkan sumbu X tanggal pelaporan ke publik.
Menurut Iqbal, kurva pemerintah itu bukan kurva epidemi. Jumlah kasus konfirmasi tambahan, kata dia, tidak sama artinya dengan jumlah kasus baru. "Angka jumlah kasus harian yang dilaporkan tidak bisa menjelaskan laju infeksi harian pada hari sebelumnya. Dengan kata lain, turunnya angka kasus harian itu tidak bisa langsung dibaca sebagai turunnya laju infeksi harian," ucap dia.
Faktor lain yang berpengaruh dari kurva pemerintah itu adalah lamanya jarak waktu antara sampel diambil dan hasil pemeriksaan yang dilaporkan ke Kementerian Kesehatan. Masyarakat, ucap Iqbal, belum tahu berapa rata-rata waktu pemeriksaan sampel di seluruh laboratorium pemerintah.
Guna mengendalikan Covid-19, Iqbal mengusulkan agar pemerintah mengeluarkan kurva epidemi sesuai standar ilmu epidemiologi untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota. Ia menilai data itu sudah tersedia di rekam medis, sistem informasi fasilitas kesehatan dan laporan pemeriksaan laboratorium. "Siap untuk dianalisis," katanya.
Selain itu, pemerintah perlu secara terbuka dan transparan menyampaikan data jumlah pemeriksaan PCR dan lamanya waktu pemeriksaan untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota untuk menaikkan kepercayaan publik terhadap kurva epidemi yang akan dikeluarkan pemerintah.
"Pemerintah perlu menggunakan kurva epidemi standar tersebut sebagai salah satu cara menilai pelaksanaan kebijakan pengendalian Covid-19," tuturnya.