TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini sepakat bahwa dugaan politisasi bantuan sosial (bansos) oleh kepala daerah dapat dikenai Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini sebelumnya disampaikan oleh anggota Badan Pengawas Pemilu Fritz Edward Siregar.
"Saya setuju dengan apa yang disampaikan Pak Fritz," kata Titi ketika dihubungi, Jumat, 8 Mei 2020.
Dugaan politisasi bansos ini banyak dikritik karena dianggap menjadi panggung bagi calon inkumben untuk pilkada serentak mendatang. Namun, dugaan politisasi bansos itu tak bisa serta merta dianggap melanggar Undang-undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016.
Titi pun mengakui keterbatasan UU Pilkada dalam hal ini. "Kita sekarang di area abu-abu, belum ada paslon, bakal paslon saja belum. Jadi kalau sekadar mengandalkan UU Pilkada, begitu banyak yang tidak masuk daya jangkau," kata dia.
Menurut Titi, skema penegakan hukum di luar mekanisme elektoral pun bisa digunakan untuk menindak politisasi bansos ini. Merujuk UU Pemda, misalnya, kepala daerah harus melaksanakan tugasnya secara profesional, tidak diskriminatif, dan optimal dalam pelayanan publik.
Kementerian Dalam Negeri, kata Titi, juga harus turun tangan melakukan pengawasan dan pembinaan seperti yang diatur dalam Pasal 7 UU Pemda itu.
"Kalau dia (kepala daerah) melakukan tindakan yang identik dengan benturan kepentingan, diskriminatif, dan tidak optimal melakukan pelayanan publik, mestinya bisa dilakukan pembinaan oleh Kemendagri," kata Titi.
Titi pun mendorong Kemendagri membuat aturan main yang lebih jelas dan tegas untuk para kepala daerah yang menyalurkan bantuan sosial. Kemendagri, kata dia, bertanggung jawab tidak ada politisasi tata kelola pelayanan publik oleh pemerintah daerah.
"Kemendagri harus progresif karena politisasi bansos di masa pandemi ini sesuatu yang sangat tercela," ujar dia.
Titi mengimbuhkan, peran institusi pengawasan yang sudah ada juga perlu dioptimalkan, misalnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan inspektorat.