TEMPO.CO, Jakarta - Kasus perbudakan anak buah kapal atau ABK Indonesia di kapal asing kembali menjadi sorotan. Kasus ini terkuak setelah media asal Korea Selatan, MBC, memberitakan tentang insiden "pembuangan" jenazah salah satu ABK yang meninggal di atas kapal Cina pada Selasa, 5 Mei 2020.
Dari liputan media tersebut, seorang ABK asal Indonesia menceritakan bagaimana mereka diperlakukan tak layak oleh pekerja lainnya. Misalnya, mereka hanya boleh minum air laut dan bekerja 18 jam sehari.
Kementerian Luar Negeri menyatakan sudah bekerja sama dengan otoritas di Korea Selatan untuk menginvestigasi kasus ini. "Kami sudah meminta coast guard Korea untuk melakukan investigasi terhadap Kapal Long Xin dan Tian Yu 8. Hari ini, KBRI Seoul sedang mendampingi 14 ABK WNI di Busan untuk diambil keterangannya oleh pihak coast guard Korea,” ujar Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam konferensi pers online, Kamis, 7 Mei 2020.
Kasus perbudakaan ABK asal Indonesia bukan sekali ini saja. Laporan investigasi Majalah Tempo edisi 9 Januari 2017 pernah memuat adanya dugaan perbudakan pekerja migran Indonesia di kapal berbendera Taiwan.
Investigasi TEMPO dan media Taiwan The Reporter, mengungkap perlakuan tidak manusiawi terhadap pelaut Indonesia yang bekerja di kapal Taiwan dan berlayar di perairan internasional. Penelusuran tersebut mengungkap bahwa para pelaut Indonesia mendapat perlakuan buruk, bekerja lebih dari 20 jam sehari, dan menggunakan buku pelaut palsu.
Karena ilegal, mereka tak terpayungi Undang-Undang Tenaga Kerja Taiwan. Mereka pun tak mendapatkan asuransi kesehatan dan kartu identitas bagi warga asing. Berikut cerita pelaut Indonesia yang menjadi 'budak' di kapal Taiwan:
Ajakan naik kapal datang saat Rizki Oktaviana menganggur. Suatu hari, pada 2013, seorang pria di kampungnya di Cirebon, Jawa Barat, bertamu ke rumah. “Dia menjanjikan gaji besar dan bonus dari kapten setiap kapal bersandar,” katanya pada Desember lalu.
Rizky terbujuk, tapi ia tak punya uang yang diminta “sponsor”—istilah untuk broker calon pelaut. Calo tersebut meminta Rp 6 juta untuk “biaya administrasi”. Setelah menawar, akhirnya disepakati Rp 2 juta.
Rizky kemudian dibawa ke Bekasi, ke kantor sebuah agen pengiriman anak buah kapal. Di sana ada sekitar 50 orang yang menunggu keberangkatan. Rizky tinggal bersama mereka di ruangan berukuran 3 x 4 meter. Saking sempitnya, tidur pun harus bergantian dan tak leluasa selonjoran.
Selama menunggu itu, para calon ABK diminta agen untuk memperbaiki jalan di lingkungan sekitar. Untuk pekerjaan ini, mereka tak dibayar. Mereka justru diminta mengganti ongkos makan sehari-hari sebesar Rp 20 ribu per hari untuk menu ala kadarnya. Biaya akan dipotong dari gaji di kapal.
Pria kelahiran 1990 itu sebenarnya sudah enggan berangkat. Tapi dokumen pelayaran dan tiket sudah telanjur terbit. Rizky diancam agen untuk membayar Rp 25 juta bila tak jadi naik kapal. Diimpit paksaan, ia terpaksa meneken kontrak dengan agen.
Di sinilah tipu-tipu lain terjadi. Kontrak disodorkan malam-malam di bawah cahaya yang temaram. Para calon ABK hanya diberi waktu membaca kurang dari 10 menit. Mereka hanya paham akan menerima gaji US$ 200 per bulan, tapi tak paham bahwa gajinya akan dipotong sebagai jaminan agar mereka tak kabur. Karena diberi waktu secuil, ketentuan lain seperti gaji akan hangus bila tak menyelesaikan kontrak alpa dicermati.
Pada hari-H, Rizky akhirnya terbang ke Cape Town, Afrika Selatan. Di perairan sekitar tempat itu, kapal Homsang 26 asal Taiwan sudah menunggu. Di atas kapal, mimpi-mimpi yang diobral “sponsor” sirna. Tujuh bulan Rizky dan ABK lain bekerja seperti budak: bekerja lebih dari 20 jam sehari, makan seadanya, dan disiksa bila terlihat malas.