TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) merekomendasikan empat hal kepada pemerintah terkait perlindungan terhadap warga negara Indonesia yang menjadi anak buah kapal atau ABK di kapal asing.
Rekomendasi tersebut dalam hal perekrutan, penempatan, dan perlindungan ABK. Hal ini menyusul mencuatnya dugaan penyiksaan terhadap pekerja migran di kapal berbendera Cina.
Pertama, mereka mendesak pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal dan Pelaut Perikanan. "PP ini sudah dibahas beberapa kali, namun hingga saat ini masih menggantung penuntasannya," kata Chief Executive Officer IOJI, Mas Achmad Santosa, dalam keterangan pers, Kamis 7 Mei 2020.
IOJI menyebut dalam PP harus mengatur beberapa hal. Pertama, pemerintah harus membatasi usia minimal WNI yang bekerja di atas kapal, kemudian standar jam kerja dengan waktu istirahat yang tidak boleh kurang dari 10 jam per hari, dan pemeriksaan medis.
Lalu, menentukan standar Perjanjian Kerja Laut ABK perikanan sesuai dengan prinsip HAM, dan ditulis dalam Bahasa Indonesia, menentukan standar nilai upah, memberikan pelatihan dan sertifikasi, dan wajib memberikan jaminan kesehatan dan jaminan sosial.
Pada tahap saat bekerja, PP ini harus menentukan mekanisme pengawasan dan inspeksi terkait pemenuhan hak-hak terkait akomodasi yang layak, makanan yang halal bergizi dan berkualitas, fasilitas sanitasi, kesehatan, medis, dan perawatan kesehatan. Selanjutnya pada tahap selesai bekerja, untuk menetapkan ketentuan mengenai biaya kepulangan dibebankan kepada pemberi kerja.
Kedua, IOJI meminta pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) C-188 Work in Fishing Convention and Recommendation. "ILO C-188 merupakan instrumen internasional yang mengatur bentuk-bentuk perlindungan kepada ABK perikanan dan mekanisme untuk memastikan kapal-kapal ikan mempekerjakan ABK dengan kondisi yang layak," kata Mas Achmad.
Ketiga, meminta kepada Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan untuk segera mengevaluasi seluruh perusahaan perekrut tenaga kerja. Evaluasi ini untuk memastikan tingkat kepatuhan perusahaan tersebut terhadap ketentuan mengenai penempatan dan perekrutan ABK, perlindungan HAM, serta pemenuhan hak-hak pekerja migran.
Keempat, meminta Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Perhubungan untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah yang menjadi lumbung tenaga kerja untuk membimbing para calon pekerja migran. "Agar mereka dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk menghindari perusahaan manning agency dengan rekam jejak yang tidak baik dan untuk menghadapi kondisi kerja yang tidak layak," kata dia.