TEMPO.CO, Jakarta - Ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif, menilai penurunan jumlah kasus baru positif COVID-19 disebabkan kurangnya alat untuk melakukan tes.
“Yang saya tangkap sementara ini masih mengalami kekurangan reagen maupun virus transmission medianya,” kata Syahrizal kepada Tempo, Kamis, 30 April 2020.
Pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI ini menuturkan, kekurangan itu terjadi karena Indonesia masih mengandalkan impor. Sehingga, jumlah spesimen yang diperiksa pun baru mencapai 86.985 spesimen dari 67,784 orang berdasarkan data per 29 April 2020.
Syahrizal menjelaskan, penambahan kasus baru tertinggi terjadi pada 24 April 2020, dengan 436 kasus. Jika angka itu dianggap sebagai puncak pandemi COVID-19, maka semestinya penurunan jumlah kasus baru akan terus terjadi dalam 7-14 hari.
Namun, kata Syahrizal, pemerintah sendiri mengasumsikan puncak wabah baru akan terjadi pada akhir Mei 2020. “Berarti 436 itu bukan puncak wabah. Pemerintah pasti ada alasan,” kata dia.
Selain itu, baru-baru ini pemerintah juga mendistribusikan 400 ribuan reagen PCR ke sejumlah laboratorium untuk pengujian COVID-19. Artinya, Syahrizal menuturkan dalam dua pekan ke depan mestinya tidak ada persoalan kekurangan reagen. “Mudah-mudahan ketersediaan reagen itu akan menggambarkan situasi yang dilaporkan,” ujarnya.
Sebelumnya, terjadi penurunan jumlah kasus baru positif Covid-19. Berdasarkan data Gugus Tugas Penanganan ada penambahan kasus positif pada Selasa, 28 April 2020 sebanyak 415 orang. Angka penambahan ini kemudian turun pada Rabu, 29 April 2020 menjadi 260 orang.